Advertisement
Jejak Pendidikan- Dalam hal pendidikan Amin Syukur termasuk salah seorang yang beruntung karena sejak kecil dia sudah mendapatkan perhatian dan bimbingan yang cukup istimewa dari kedua orang tuanya. Orang tuanya yang mempunyai perhatian terhadap agama cukup serius, telah mencurahkan perhatian terhadap perkembangan keagamaan anaknya dengan cukup serius pula. Hal ini terbukti sejak kecil dia sudah dikenal sebagai anak yang rajin beribadah taat dan patuh kepada kedua orang tuanya.
Pendidikan keluarga adalah pendidikan yang paling awal dia dapatkan dan sangat menentukan bagaimana dan seperti apa kehidupannya ke depan. Pendidikan yang diberikan oleh kedua orang tuanya dapat dikatakan sangat berhasil. Pendidikan agama dan akhlak adalah pendidikan yang paling utama yang diberikan kedua orang tuanya. Kedua pendidikan ini juga yang ke depannya terbukti telah menjadi modal dan memiliki pengaruh besar terhadap kesuksesan hidupnya.
Sejak kecil Amin Syukur telah mendapatkan perhatian, bimbingan, nasihat, dan teladan dari kedua orang tuanya. Sejak kecil orang tuanya telah mengarahkan Amin Syukur agar mendedikasikan hidupnya untuk ibadah. Hal ini terbukti ketika ia kecil, dia sudah dikenal sebagai anak yang taat dan patuh kepada kedua orang tua serta sangat rajin beribadah. Kedua orang tuanya mampu menjaga anak-anaknya agar sejak dini selalu berada di jalan yang benar, yakni yang sesuai dengan tuntutan agama.
Salah satu nasihat yang pernah diberikan oleh orang tuanya dan masih diingatnya adalah sebagai berikut, “Nak, banyak anak yang di masa kecilnya menampakkan keshalihan, tetapi saat menginjak dewasa tidak sedikit yang berbuat sebaliknya”. Orang Tuanya berharap Amin Syukur tidak demikian. Pesan inilah yang kemudian membuat Amin Syukur sangat berhati-hati terhadap dirinya sendiri agar mampu mempertahankan apa yang telah dilakukannya sejak kecil.
Sedangkan pendidikan dari luar, didapatkan sejak orang tua memasukkannya ke sekolah taman kanak-kanak di desa kelahirannya. Setelah menyelesaikan sekolah taman kanak-kanak, orang tuanya lantas memasukkan Amin Syukur ke Madrasah Islamiyah (MI) di Desa Sembungan Kidul Gresik, yang dijalaninya selama satu tahun. Setelah itu, pada tahun 1960 dia dimasukkan ke Pondok Pesantren Al-Kartini.
Pesantren ini berlokasi di Tebuwang Dukun Gresik. Kebetulan pada saat itu, kakaknya Amin Syukur yaitu Abd. Mujib merupakan salah seorang santri di Pondok Pesantren yang diasuh tiga orang kiyai yaitu K.H. Abd. Mu‟in, K.H. Abdullah, dan K.H. Zaini tersebut. Akan tetapi hanya satu tahun dia menimba ilmu di pondok pesantren tersebut, karena pada saat itu kakaknya telah menamatkan pendidikannya, sehingga atas permintaan orang tuanya yang merasa tidak tega jika dibiarkan sendirian tanpa kakaknya, maka dia ikut pulang.
Akan tetapi tidak begitu lama setelah kepulangannya dari Pesantren Al-Kartini tersebut, dia kembali melanjutkan belajarnya ke Pondok Pesantrem Ihya‟ „Ulum yang berlokasi di dukun Gresik di bawah asuhan K.H. Ma‟sum. Selama menimba ilmu di pesantren ini dia tidak mukim di pondok, akan tetapi dilaju atau dikenal dengan istilah “santri kalong”. Meskipun demikian, di pesantren ini Amin Syukur tetap mendapatkan pelajaran ilmu-ilmu pondok sebagaimana pada umumnya seperti ilmu Nahwu, Sharaf, Tauhid, Fiqih, Akhlak, Tarikh, tafsir, dan Hadits, bahkan beberapa ilmu pengetahuan umum seperti ilmu al-Jabar, ilmu Alam, ilmu bumi, dan imlu Hayat. Di pondok pesantren ini dia belajar cukup lama yakni hampir lima tahun (1961-1966) dengan berjalan kaki dari rumah ke pesantren, terkadang naik sepeda onthel (sepeda angin).
Setelah menyelesaikan pendidikan di pondok pesantren Ihya‟ „Ulum, dia kembali melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren Darul „Ulum Jombang, yang saat itu masih di asuh oleh seorang kiyai terkenal yaitu K.H. Musta‟in Ramli. Di Pesantren inilah dia mulai menginjak pendidikan formal. Dimulai dengan masuk Sekolah Menengah Pertama (SMPDU) yang diselesaikannya pada tahun 1969. Kemudian lanjut ke tingkat selanjutnya yakni Sekolah Menengah Atas (SMADU) pada almamater yang sama dan diselesaikannya pada tahun 1972. Pada tingkat SMA inilah dia mulai berkenalan dengan organisasi. Pada saat itu, dia aktif dalam berbagai kegiatan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Di SMA ini juga dia pernah mendapatkan pengalaman yang cukup berkesan dan sangat memengaruhi kehidupannya ke depan.
Diceritakan dalam bukunya, pada saat itu tepatnya menjelang akhir tahun 1972 terjadi suatu masalah internal di pesantren (sekolah) di mana dia belajar, yang oleh para siswa yang dianggap tidak beres hingga kemudian mereka melakukan aksi protes untuk menyampaikan aspirasi atau tuntutan kepada pengurus pesantren (sekolah). Kebetulan saat itu Amin Syukur mendapatkan bagian untuk membacakan tuntutan para siswa. Akan tetapi tidak disangka, karena hal itulah dia mendapatkan pelajaran yang berharga yakni sebuah “tempelengan” sebagai bukti kasih sayang yang diberikan langsung oleh pengurus pondok pesantren yakni K.H. Musta‟in Ramli. Kasih sayang tersebut juga dibuktikan oleh kyainya dengan memberikan nasi “kerdos” kepada Amin Syukur melalui saudara Nahrawi, yang kebetulan merupakan salah seorang kepercayaan dan sekaligus khadim pelayan K.H. Musta‟in Ramli pada saat itu. Hal ini kemudian membuat Amin Syukur bertanya-tanya kenapa kyainya memperlakukan seperti itu kepadanya.
Pertanyaan tersebut dia simpan hingga kemudian jawaban akan pertanyaan tersebut akhirnya dia dapatkan setelah dia masuk ke Universitas Darul Ulum (UNDAR). Tepatnya ketika K.H. Musta‟in Ramli selaku rektor universitas memberikan mandat secara langsung kepada Amin Syukur untuk mengawasi para mahasiswinya. Jawaban ini yang membuat Amin Syukur sadar betapa nyata rasa kasih sayang K.H. Musta‟in Ramli kepadanya. Dia baru menyadari kalau ternyata dia salah seorang yang sangat beruntung karena mendapatkan pelajaran dan kepercayaan langsung dari rektor sekaligus kyainya.
Di Universitas Darul „Ulum tersebut, Amin Syukur masuk pada Fakultas „Alim „Ulama (FAU), yang selanjutnya menjadi Fakultas Ushuluddin. Di UNDAR dia tercatat sebagai salah satu aktivis kampus. Dia tercatat pernah menjabat ketua Departemen Pendidikan dan Pengajaran di Dewan Mahasiswa dan ketua umum Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UNDAR. Selain itu dia juga aktif dalam Organisasi Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) kabupaten Jombang. Pendidikan untuk meraih gelar sarjana muda tersebut dia selesaikan selama 3,5 tahun atau tepatnya lulus tahun 1976. Akan tetapi kegigihan untuk membangun potensi yang dimilikinya tidak terhenti di sini, malah justru semakin menggebu-nggebu.
Sehingga pada tahun 1977, meskipun orang tuanya merasa keberatan, akan tetapi karena semangatnya yang begitu tinggi, dengan nekat dia merantau ke Semarang untuk melanjutkan kuliah tingkat doktoral di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo. Pendidikan tingkat diktoralnya ini diselesaikan selama 2,5 tahun atau lulus pada september tahun 1979 dan kemudian diwisuda pada tanggal 16 April 1980.
Selang satu bulan diwisuda dengan menggondol prestasi sebagai sarjana terbaik tingkat fakultas dan institut, tepatnya pada 7 Mei 1980 dia menikahi wanita shalihah yang bernama Fatimah Usman. Dari pernikahannya ini dia dianugerahi dua putri yakni Ratih Rizqi Nirwana dan Nugraheni Istnal Muna. Dua tahun kemudian (1982) dia dikukuhkan sebagai tenaga edukatif, Asisten Ahli Madya. Sejak saat itulah dia meniti kariernya sebagai pengajar hingga saat ini. Kemudian tanggal 18 Agustus 1996, dia dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang tasawuf di Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.
Pendidikan keluarga adalah pendidikan yang paling awal dia dapatkan dan sangat menentukan bagaimana dan seperti apa kehidupannya ke depan. Pendidikan yang diberikan oleh kedua orang tuanya dapat dikatakan sangat berhasil. Pendidikan agama dan akhlak adalah pendidikan yang paling utama yang diberikan kedua orang tuanya. Kedua pendidikan ini juga yang ke depannya terbukti telah menjadi modal dan memiliki pengaruh besar terhadap kesuksesan hidupnya.
Sejak kecil Amin Syukur telah mendapatkan perhatian, bimbingan, nasihat, dan teladan dari kedua orang tuanya. Sejak kecil orang tuanya telah mengarahkan Amin Syukur agar mendedikasikan hidupnya untuk ibadah. Hal ini terbukti ketika ia kecil, dia sudah dikenal sebagai anak yang taat dan patuh kepada kedua orang tua serta sangat rajin beribadah. Kedua orang tuanya mampu menjaga anak-anaknya agar sejak dini selalu berada di jalan yang benar, yakni yang sesuai dengan tuntutan agama.
Salah satu nasihat yang pernah diberikan oleh orang tuanya dan masih diingatnya adalah sebagai berikut, “Nak, banyak anak yang di masa kecilnya menampakkan keshalihan, tetapi saat menginjak dewasa tidak sedikit yang berbuat sebaliknya”. Orang Tuanya berharap Amin Syukur tidak demikian. Pesan inilah yang kemudian membuat Amin Syukur sangat berhati-hati terhadap dirinya sendiri agar mampu mempertahankan apa yang telah dilakukannya sejak kecil.
Sedangkan pendidikan dari luar, didapatkan sejak orang tua memasukkannya ke sekolah taman kanak-kanak di desa kelahirannya. Setelah menyelesaikan sekolah taman kanak-kanak, orang tuanya lantas memasukkan Amin Syukur ke Madrasah Islamiyah (MI) di Desa Sembungan Kidul Gresik, yang dijalaninya selama satu tahun. Setelah itu, pada tahun 1960 dia dimasukkan ke Pondok Pesantren Al-Kartini.
Pesantren ini berlokasi di Tebuwang Dukun Gresik. Kebetulan pada saat itu, kakaknya Amin Syukur yaitu Abd. Mujib merupakan salah seorang santri di Pondok Pesantren yang diasuh tiga orang kiyai yaitu K.H. Abd. Mu‟in, K.H. Abdullah, dan K.H. Zaini tersebut. Akan tetapi hanya satu tahun dia menimba ilmu di pondok pesantren tersebut, karena pada saat itu kakaknya telah menamatkan pendidikannya, sehingga atas permintaan orang tuanya yang merasa tidak tega jika dibiarkan sendirian tanpa kakaknya, maka dia ikut pulang.
Akan tetapi tidak begitu lama setelah kepulangannya dari Pesantren Al-Kartini tersebut, dia kembali melanjutkan belajarnya ke Pondok Pesantrem Ihya‟ „Ulum yang berlokasi di dukun Gresik di bawah asuhan K.H. Ma‟sum. Selama menimba ilmu di pesantren ini dia tidak mukim di pondok, akan tetapi dilaju atau dikenal dengan istilah “santri kalong”. Meskipun demikian, di pesantren ini Amin Syukur tetap mendapatkan pelajaran ilmu-ilmu pondok sebagaimana pada umumnya seperti ilmu Nahwu, Sharaf, Tauhid, Fiqih, Akhlak, Tarikh, tafsir, dan Hadits, bahkan beberapa ilmu pengetahuan umum seperti ilmu al-Jabar, ilmu Alam, ilmu bumi, dan imlu Hayat. Di pondok pesantren ini dia belajar cukup lama yakni hampir lima tahun (1961-1966) dengan berjalan kaki dari rumah ke pesantren, terkadang naik sepeda onthel (sepeda angin).
Setelah menyelesaikan pendidikan di pondok pesantren Ihya‟ „Ulum, dia kembali melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren Darul „Ulum Jombang, yang saat itu masih di asuh oleh seorang kiyai terkenal yaitu K.H. Musta‟in Ramli. Di Pesantren inilah dia mulai menginjak pendidikan formal. Dimulai dengan masuk Sekolah Menengah Pertama (SMPDU) yang diselesaikannya pada tahun 1969. Kemudian lanjut ke tingkat selanjutnya yakni Sekolah Menengah Atas (SMADU) pada almamater yang sama dan diselesaikannya pada tahun 1972. Pada tingkat SMA inilah dia mulai berkenalan dengan organisasi. Pada saat itu, dia aktif dalam berbagai kegiatan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Di SMA ini juga dia pernah mendapatkan pengalaman yang cukup berkesan dan sangat memengaruhi kehidupannya ke depan.
Diceritakan dalam bukunya, pada saat itu tepatnya menjelang akhir tahun 1972 terjadi suatu masalah internal di pesantren (sekolah) di mana dia belajar, yang oleh para siswa yang dianggap tidak beres hingga kemudian mereka melakukan aksi protes untuk menyampaikan aspirasi atau tuntutan kepada pengurus pesantren (sekolah). Kebetulan saat itu Amin Syukur mendapatkan bagian untuk membacakan tuntutan para siswa. Akan tetapi tidak disangka, karena hal itulah dia mendapatkan pelajaran yang berharga yakni sebuah “tempelengan” sebagai bukti kasih sayang yang diberikan langsung oleh pengurus pondok pesantren yakni K.H. Musta‟in Ramli. Kasih sayang tersebut juga dibuktikan oleh kyainya dengan memberikan nasi “kerdos” kepada Amin Syukur melalui saudara Nahrawi, yang kebetulan merupakan salah seorang kepercayaan dan sekaligus khadim pelayan K.H. Musta‟in Ramli pada saat itu. Hal ini kemudian membuat Amin Syukur bertanya-tanya kenapa kyainya memperlakukan seperti itu kepadanya.
Pertanyaan tersebut dia simpan hingga kemudian jawaban akan pertanyaan tersebut akhirnya dia dapatkan setelah dia masuk ke Universitas Darul Ulum (UNDAR). Tepatnya ketika K.H. Musta‟in Ramli selaku rektor universitas memberikan mandat secara langsung kepada Amin Syukur untuk mengawasi para mahasiswinya. Jawaban ini yang membuat Amin Syukur sadar betapa nyata rasa kasih sayang K.H. Musta‟in Ramli kepadanya. Dia baru menyadari kalau ternyata dia salah seorang yang sangat beruntung karena mendapatkan pelajaran dan kepercayaan langsung dari rektor sekaligus kyainya.
Di Universitas Darul „Ulum tersebut, Amin Syukur masuk pada Fakultas „Alim „Ulama (FAU), yang selanjutnya menjadi Fakultas Ushuluddin. Di UNDAR dia tercatat sebagai salah satu aktivis kampus. Dia tercatat pernah menjabat ketua Departemen Pendidikan dan Pengajaran di Dewan Mahasiswa dan ketua umum Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UNDAR. Selain itu dia juga aktif dalam Organisasi Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) kabupaten Jombang. Pendidikan untuk meraih gelar sarjana muda tersebut dia selesaikan selama 3,5 tahun atau tepatnya lulus tahun 1976. Akan tetapi kegigihan untuk membangun potensi yang dimilikinya tidak terhenti di sini, malah justru semakin menggebu-nggebu.
Sehingga pada tahun 1977, meskipun orang tuanya merasa keberatan, akan tetapi karena semangatnya yang begitu tinggi, dengan nekat dia merantau ke Semarang untuk melanjutkan kuliah tingkat doktoral di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo. Pendidikan tingkat diktoralnya ini diselesaikan selama 2,5 tahun atau lulus pada september tahun 1979 dan kemudian diwisuda pada tanggal 16 April 1980.
Selang satu bulan diwisuda dengan menggondol prestasi sebagai sarjana terbaik tingkat fakultas dan institut, tepatnya pada 7 Mei 1980 dia menikahi wanita shalihah yang bernama Fatimah Usman. Dari pernikahannya ini dia dianugerahi dua putri yakni Ratih Rizqi Nirwana dan Nugraheni Istnal Muna. Dua tahun kemudian (1982) dia dikukuhkan sebagai tenaga edukatif, Asisten Ahli Madya. Sejak saat itulah dia meniti kariernya sebagai pengajar hingga saat ini. Kemudian tanggal 18 Agustus 1996, dia dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang tasawuf di Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.