Advertisement
Jejak Pendidikan- Dalam konteks Pendidikan Islam, terjadinya perubahan tingkah laku, sikap, dan kepribadian setelah peserta didik mengalami proses pendidikan merupakan salah satu fokus perhatian Pendidikan Islam. Perubahan dan pembentukan kepribadian peserta didik tersebut dapat dilihat dari pendekatan psikologi. Menurut Abdul Mujib, macam-macam kepribadian perspektif Psikologi Kepribadian Islam berdasarkan kerangka struktur nafsani kepribadian (qalb, „aql, dan nafs) ialah sebagai berikut:
- Kepribadian ammârah adalah gambaran kepribadian individu yang cenderung melakukan perbuatan-perbuatan rendah dan perbuatan tercela sesuai nalurinya. Individu tersebut mengikuti tabiat jasad dan mengejar prinsip-prinsip kenikmatan (pleasure principle). Jiwa ini berkaitan dengan kebutuhan fisik manusia yang dalam bahasa psikologi disebut unconscious mind state. Keadaan ini tidak lain adalah keadaan pikiran tidak sadar individu yang memperturutkan hawa nafsu dan dikuasai oleh kelalaian. Kepribadian ammârah yang didominasi oleh hawa dan syahwat akan mengaburkan potensi individu ke arah pengembangan kepribadian yang baik.
- Kepribadian lawwâmah adalah gambaran kepribadian yang mencela perbuatan buruk sendiri setelah memperoleh cahaya kalbu. Individu bangkit untuk memperbaiki kebimbangannya dan kadang-kadang tumbuh perbuatan yang buruk yang disebabkan oleh watak gelap (ẓulmaniyyah)-nya, tetapi kemudian diingatkan oleh nur Ilahi, sehingga individu tersebut bertaubat dan memohon ampun (istighfâr). Lebih jelasnya, individu yang memiliki kepribadian ini mampu menasehati diri sendiri jika usai berbuat salah. Individu ini digambarkan sebagai seseorang yang labil, yang belum memiliki pendirian dan prinsip kuat dalam hidup. Jadi, perilaku terkadang mengikuti norma agama tapi di waktu yang lain melanggar. Akan tetapi, setelah pelanggaran tersebut individu akan menyadari kesalahannya.
- Kepribadian muṭmainnah adalah gambaran kepribadian yang tenang setelah diberi kesempurnaan nur kalbu, sehingga individu dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat baik. Kepribadian ini selalu berorientasi ke komponen kalbu untuk mendapatkan kesucian dan menghilangkan segala kotoran. Penting dipahami bahwa nafsu muṭma‟innah inilah yang disebut jati diri manusia. Individu yang telah memiliki nafsu ini ditampilkan oleh individu yang berhasil mencapai sepenuhnya kesempurnaan manusia. Potret ideal dalam tingkatan nafsu inilah yang menjadi standar baiknya kepribadian, yakni kepribadian yang memiliki kesadaran penuh atas apa yang ia perbuat, mengapa harus berbuat, dan konsekuensi perbuatannya. Pada akhirnya individu yang kondisi psikisnya stabil ini akan memiliki sebuah kesadaran untuk selalu memperbaiki kepribadiannya. Kesadaran ini individu dapatkan dari proses berpikir atau apa yang disebut dengan refleksi diri dan tercermin dalam laku sehari-har
Amin Abdullah yang mengutip dari Kitab Iḥyâ „Ulûm al-Dîn dan mengalih bahasakan penjelasan al-Ghazali menggambarkan nafsu muṭmainnah bahwa jika „aql telah mengendalikan kecenderungan jahat dan menundukkan serta mengharmonisasikan kekuatan-kekuatan binatang, perjuangannya berhenti dan memungkinkan diri untuk memperoleh kemajuan tanpa rintangan menuju tujuannya.
Dari penjelasan tersebut tampak jelas bahwa kepribadian muṭmainnah memiliki kecenderungan yang tenang. Gambaran individu yang menjalankan segala tindakan dengan pelan namun pasti. Dalam konteks pendidikan, gambaran peserta didik yang memiliki kepribadian ini adalah peserta didik yang memiliki orientasi, pandangan, dan target hidup yang jelas sambil merealisasikan tujuan hidup secara sistematis, pasti, dan tuntas.
Tiga macam kepribadian di atas merupakan macam-macam kepribadian yang secara normatif berasal dariajaran tasawuf dalam Islam sehingga harus dijelaskan secara lebih jelas dan sistematis tentang gambaran kepribadian peserta didik relevansinya dengan hasil (output) Pendidikan Islam.
Tiga macam kepribadian di atas bersifat hierarkis yang tahapannya dimulai dari kepribadian ammârah, kepribadian lawwâmah, dan kepribadian muṭmainnah. Adapun kepribadian ideal yang menjadi tujuan pencapaian dalam Pendidikan Islam ialah kepribadian muṭmainnah. Dengan demikian, pembentukan kepribadian peserta didik yang diupayakan oleh guru khususnya di lingkup pembelajaran berorientasi pada pembentukan kepribadian muṭmainnah. Meskipun pencapaian pembentukan kepribadian muṭmainnah tidak dapat tercapai secara sempurna, bagaimana pun segala upaya yang dilakukan selama proses pendidikan tetap diarahkan pada pembentukan kepribadian muṭmainnah.
Maksud dicantumkan tiga macam kepribadian yang menunjukkan pengembangan dan perbaikan secara hierarkis agar penyajian tersebut mendukung kegiatan evaluasi dalam proses dan akhir pembelajaran. Kegiatan evaluasi dalam pembelajaran ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh perubahan sikap peserta didik ke arah yang lebih baik.
Peningkatan kepribadian ammârah ke kepribadian lawwâmah disebabkan oleh prosentase daya nafsu lebih dekat dengan prosentase daya akal dan terlalu jauh jaraknya dengan daya qalbu. Dalam posisi ini, individu sudah mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang terpuji dan yang tercela, dan antara yang benar dan yang salah serta mendayagunakan akal yang memiliki fungsi mengatur (managing principle). Akan tetapi pada posisi berkepribadian lawwâmah, fungsi mengatur dari akal individu belum berfungsi secara efektif. Terbukti pada posisi ini individu digambarkan sebagai individu yang berbuat kesalahan akan tetapi setelah itu sadar dan dapat memperingatkan diri sendiri. Selain itu, sebelum individu tersebut berbuat kesalahan, akal tidak difungsikan dengan baik untuk memikirkan dan mempertimbangkan konsekuensi logis dari berbuat salah. Jadinya, akal baru tampak berfungsi setelah individu merasakan akibat buruk sehingga terdapat penyesalan setelah berbuat salah dan baru kemudian individu tersebut memohon ampun kepada Allah Swt.
Adapun pengembangan qalbu dimaksud agar potensi qalb mampu berfungsi sebagai instrumen spiritual yang cenderung pada kebaikan, terlatih dalam keluhuran akhlak, mampu menangkal hawa nafsu, dan memiliki kematangan emosional.
Adapun beberapa langkah dalam rangka mengembangkan qalb yakni sebagai berikut:
- membimbing dan membiasakan diri ke arah kebaikan (al-tawjih wal muawadah „ala al khair). Hal ini memerlukan sikap yang partisipatif, bukan sekadar indoktrinatif,
- keteladanan lingkungan sosial (al-qudwah al-hasanah).
- ketaatan beribadah, keseluruhan perintah ibadah yang dalam Islam dimaksudkan untuk membentuk pribadi yang bersih, beriman, berislam, dan berihsan, dan
- pembudayaan etika sosial (al-tahalli bil fadla‟il).
Yang dimaksud sikap partisipatif di atas ialah sikap kemandirian yang harus dimiliki peserta didik dengan cara ikut mengembangkan potensi qalb secara sadar. Selain itu, penting adanya sosok yang dapat diteladani peserta didik guna mendukung proses pengembangan qalb menuju kepribadian peserta didik. Qalb ini merupakan pusat manusia yang menggerakkan akal sekaligus sebagai sarana yang menghubungkan manusia dengan Allah Swt.
Perlu ditekankan kembali bahwa tugas pendidik kaitannya dengan pembentukan kepribadian peserta didik dalam proses pembelajaran adalah bagaimana mengarahkan peserta didik mampu mencapai pada martabat kesempurnaan keseimbangan jiwa yang tenang (muṭmainnah). Martabat keseimbangan jiwa yang tenang ini dapat mendorong dan membuka lathifah individu mencapai lathif Allah Swt. Keseimbangan jiwa yang tenang ini akan menguatkan sikap penuh kerelaan (radliyah) dalam hal menerima keputusan kehendak-Nya (iradah) dan menerima kerelaan-Nya (mardliyah) terhadap manusia yang memiliki keseimbangan jiwa yang tenang.
Apabila jiwa muṭmainnah sudah sempurna, maka akan hadir rûh al-qudsiyah (ruh yang disucikan di hadirat Allah) dalam diri seseorang. Gambaran individu ini adalah individu yang menerima keadaan yang melingkupinya dengan ikhlas akan tetapi dibarengi dengan mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya secara optimal untuk mengatasi pelbagai masalah dan tantangan yang dihadapi dalam diri individu, diri orang lain dan lingkungan sekitar. Peserta didik yang memiliki kepribadian yang tenang ini memiliki sikap yang sadar dan sabar bahwa dirinya harus melalui kesulitan-kesulitan secara bertahap dalam proses pendidikan.
Rujukan:
- Darwito, Nafsul Muthmainnah Achievement, (Semarang: NMA Publishing, 2012).
- Sachiko Murata, The Tao of Islam, (Bandung: Mizan, 1999).
- Zulkifli dan Sentot Budi Santoso, Wujud (Menuju Jalan Kebenaran), (Solo: Cv. Mutiara Kertas, 2008).
- Netty Hartati, dkk., Islam dan Psikologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005).