Advertisement
Jejak Pendidikan- Semua masyarakat di dunia memiliki kebudayaan sehingga setiap kebudayaan berbeda wujudnya dengan kebudayaan yang lain. Aceh pun memiliki kebudayaannya sendiri. Dengan polesan warna Islam yang kental, maka budaya Aceh berkembang tidak hanya dalam bentuk adat maupun seni, melainkan dalam suatu peradaban yang tinggi Berdasarkan beberapa sumber, para sejarawan dan arkeolog menyimpulkan bahwa kerajaan Islam pertama di nusantara berdiri di daerah Aceh. Disimpulkan pula bahwa agama yang masuk ke daerah ini adalah Islam, yang dalam batas tertentu telah tersebar dan teradaptasi dengan unsur kebudayaan Persia dan Gujarat (India). Islam yang telah berbaur dengan unsur India dan Persia ini memberi corak tersendiri terhadap budaya dan tradisi Aceh.
Namun dalam pelaksanaannya, masyarakat Aceh menyesuaikan praktek agama dengan tradisi/adat istiadat yang berlaku. Hal ini terlihat dalam kehidupan sosial budaya Aceh, sebagai hasilnya, Islam dan budaya Aceh menyatu sehingga sulit untuk dipisahkan. Masuknya Islam ke Aceh pada abad ke-7 M, banyak sekali mempengaruhi adat istiadat Aceh, bahkan pengaruh Islam itu sangat besar, sehingga ada pepatah yang berbunyi: Hukom ngo adat lagee zatg ngo sipheuet (hukum dengan adat seperti benda dengan sifatnya, tidak terpisahkan). Yang dimaksud dengan hukum disini adalah hukum Islam yang diajarkan oleh para ulama.
Demikian besar pengaruh Islam di Aceh, sehingga sapaan waktu berjumpa dan ucapan waktu berpisah, tidak lagi diucapkan dengan kata lain melainkan sudah menjadi Assalamu’alaikum (selamat, tuan) dan jawabannya wa’alaikumsalam wa rahmatullah...(tuan juga selamat beserta rahmat Allah). Bila seseorang menerima pemberian dari orang lain, melainkan sudah diganti dengan Alhamdulillah (segala puji bagi Allah). Apabila mendengar ada orang meninggal, segera mengucapkan: Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun (semua kita milik Allah dan kita semua akan kembali kepada-Nya).
Demikian besar pengaruh Islam di Aceh, sehingga sapaan waktu berjumpa dan ucapan waktu berpisah, tidak lagi diucapkan dengan kata lain melainkan sudah menjadi Assalamu’alaikum (selamat, tuan) dan jawabannya wa’alaikumsalam wa rahmatullah...(tuan juga selamat beserta rahmat Allah). Bila seseorang menerima pemberian dari orang lain, melainkan sudah diganti dengan Alhamdulillah (segala puji bagi Allah). Apabila mendengar ada orang meninggal, segera mengucapkan: Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun (semua kita milik Allah dan kita semua akan kembali kepada-Nya).
Sistem kemasyarakatan Aceh juga sangat erat berkaitan dengan Islam. Masyarakat Aceh merupakan suatu masyarakat yang bertingkat dan tersusun dalam golongan-golongan. Golongan tersebut adalah golongan bangsawan, kaum alim ulama, golongan rakyat umum dan juga kelompok-kelompok lain seperti orang pendatang atau orang asing. Memang suatu kenyataan bahwa kaum bangsawan dan alim ulama pada umumnya menduduki tingkatan atas, akan tetapi dari kalangan rakyat umum pun tidak kurang yang mendapat kehormatan dan berada di tingkat yang tinggi, misalnya saja orang-orang yang sudah menunaikan ibadah Haji, dan kaum saudagar.
Sebelum Aceh diperintah oleh Belanda, penggolongan masyarakat adalah:
- Golongan Hulubalang (ulebalang), yaitu golongan yang memerintah negeri. Golongan ini, mula-mula juga merupakan rakyat biasa. Tetapi karena mempunyai wibawa, disebabkan kekayaan, keberanian, kecakapan dalam mengatur dan memimpin maka ia diangkat menjadi kepala rakyat.
- Golongan ulama/golongan ahli dan pengajar agama. Golongan ini berasal dari rakyat biasa. Tetapi karena ketukunannya belajar, mereka memperoleh berbagai ilmu pengetahuan.
- Golongan saudagar, yaitu golongan orang kaya. Golongan ini pun berasal dari rakyat biasa yang mempunyai nasib lebih baik dalam usaha mereka mendapatkan kekayaan.
- Golongan tani, golongan inilah yang terbanyak.
- Golongan terpelajar/pegawai, yang dimaksudkan dengan terpelajar ialah mereka yang telah mengenyam pendidikan barat, lalu diangkat menjadi pegawai pemerintah.
- Golongan buruh.
Dari berbagai golongan ini nantinya timbul perbedaan keinginan dalam penyelesaian kasus Aceh ini. Golongan pelajar, buruh, tani dan ulama menginginkan adanya referendum di Aceh akan tetapi golongan uleebalang hanya menginginkan diberlakukannya otonomi khusus bagi Aceh.
Masyarakat Aceh adalah penggolongan rakyat dalam kelompoknya soeke (suku) atau Kawon (kaum) penggolongan atas kawon ini didasarkan atas keturunan dari nenek moyang pihak laki-laki dan adat istiadatnya. Kawon terdiri dari 4, yaitu:
- Kawon Imeuet Peut (kaum imam empat) adalah mereka yang berasal dari orang Hindu yang telah memeluk islam.
- Kawon Lherentoih (suku 300) adalah mereka yang berasal dari orang-orang mantir dan batak.
- Kawon Tok Baru adalah mereka yang terdiri dari orang-orang asing seperti orang Arab, orang parsi dan orang Turki.
- Kawon Ia Sandang adalah orang hindu yang bekerja untuk majikan masing-masing.
Masing-masing kawon ini mempunyai pimpinan yang dipilihnya sendiri-sendiri dan disebut Panglima Kawon. Walaupun kedudukannya turun temurun, kalau Panglima Kawon yang baru sudah dipilih harus disahkan oleh Ule balang yang berkuasa dimana Panglima Kawon itu bertempat tinggal. Ulebalang adalah penguasa sebuah Nangroe (negeri) yaitu gabungan beberapa mukim. Para Ulebalang menerima kekuasaannya langsung dari Sultan Aceh. Mereka memerintah secara turun temurun dan setiap penggantian pimpinan harus disyahkan oleh Sultan.
Adapun sistem kekeluargaan di Aceh adalah parental, kecuali di daerah Gayo Alas. Parental adalah kekerabatan yang menghubungkan kekerabatan melalui pihak ayah dan pihak ibu, jadi melalui dua pihak. Oleh karena itu, sesuai dengan hukum Islam, orang boleh menikah dengan saudara sepupunya baik dari pihak ayah atau ibu. Demikian pula hukum warisan, sejak zaman Iskandar Muda sampai sekarang, yang dipakai adalah hukum islam baik di pengadilan negeri maupun di pengadilan agama.
Satuan wilayah terkecil di Aceh adalah Gampong (dalam bahasa melayu: kampung) yaitu, pekarangan yang sebagian ditata untuk kebun, dengan satu rumah atau lebih yang satu sama lain terpisah dengan pagar dan jalan kampung (jurong).
Di Gampong atau di dekatnya selalu akan ditemukan bangunan yang ditata sebagai rumah, namun tanpa kamar, lorong atau pembagian lain. Di dekat tangga bangunan yang disebut Meunasah ini terdapat cadangan air, apakah hanya berupa galian di tanah atau dibuat dari batu, pipa atau saluran bambu yang miring dari sumur yang berdekatan yang bermuara di tempat cadangan air untuk memudahkan pengisian air setiap hari daripada menimba dari sumur. Meunasah berasal dari Bahasa Arab Madrasah yang berarti tempat belajar atau sekolah. Memang Meunasah itu mempunyai multi fungsi, diantaranya sebagai tempat belajar membaca Al-Qur’an dan pelajaran-pelajaran lain. Fungsi lain dari Meunasah itu adalah sebagai tempat shalat lima waktu untuk kampung tersebut. Dalam hubungan ini, diatur pula letak meunasah itu harus berbeda dengan letak rumah untuk membedakan mana rumah dan yang mana Meunasah dan sekaligus juga orang dapat mengetahui kemana arah kiblat kalau akan shalat.
Selain Meunasah, ada pula tempat ibadah di Gampong yang dibangun tanpa tiang, namun memakai pondasi tembok yang ditinggikan, lalu di atasnya diberi semen tangga dari batu untuk memasuki tempat ibadah, namun gedungnya sendiri selalu dibuat dari kayu, dan di dinding dalam dibuat relung batu (Mehrab/Merab) untuk menunjukkan kiblat ke ka’bah di Mekah. Kadang-kadang pekarangan tempat ibadah itu dipagari dengan tembok terendah bersegi empat. Bangunan yang lebih megah itu disebut Dayah dan berfungsi sama dengan Meunasah.
Dalam kebudayaan Aceh terdapat banyak variasi terutama dalam dialek bahasa dan adat istiadat. Hal ini disebabkan karena pengaruh luar yang terus menerus terjadi. Pengaruh luar ini termasuk kebudayaan daerah tetangga dan asing. Kebudayaan luar antara lain disebabkan oleh adanya perpindahan bangsa-bangsa. Dapat dikatakan pengaruh luar ini memperkaya kebudayaan Aceh sebagai keseluruhan kebudayaan Aceh yang memberi peranan yang amat penting dalam terbentuknya kebudayaan nasional Indonesia, karena kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan daerah yang telah mengalami perkembangan lebih lanjut.
Secara garis besar bahasa di daerah Aceh dapat dibedakan menjadi empat bahasa, yaitu bahasa Gayo Alas, bahasa Aneuk Jamee, bahasa Tamiang, dan bahasa Aceh Tengah. Bahasa Aneuk Jamee khusus digunakan oleh penduduk di Aceh Selatan dan Aceh Barat. Bahasa Tamiang digunakan oleh penduduk di daerah pantai Timur. Bahasa Aceh adalah bahasa yang paling banyak digunakan di propinsi ini, antara lain di Aceh Timur, Utara, Pidie, dan sebagian Aceh Barat.
Mayoritas penduduk di provinsi Aceh memeluk agama Islam. Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebahagian besar warganya yang menganut agama Islam.
Peradaban Aceh menduduki tempat tertinggi pada masa Sultan Iskandar, pada masa ini terjadilah peleburan antara nilai-nilai ke-Acehan, keislaman dan kenusantaraan secara padu. Aceh merupakan sebuah komunitas plural Islam yang berperadaban tinggi. Istana diperindah, kemewahan pengiring raja yang besar jumlahnya, kesusastraan yang berkembang dengan sangat pesat, perdebatan keagamaan yang sangat rumit yang diikuti oleh alim ulama terpelajar dari India dan dari tempat yang lebih jauh lagi. Istana dihias dengan indah, batu-batu permata menghiasi dinding-dindingnya, ada pula tamantaman.
Selain istana dan taman yang menakjubkan yaitu terdapat karya sastra. Beberapa karya besar di Aceh bukan karya yang disampaikan secara turun temurun dengan lisan, bukan dongeng yang terlalu sering dianggap merupakan inti kesusastraan Melayu, tetapi karangan yang ditulis dengan prosa yang baik dan benar, di berbagai tulisannya dihiasi dengan sajak yang ada tanggalnya dan kebanyakan bahkan ada nama pengarangnya.
Peradaban inilah yang memberikan Aceh rasa percaya diri sebagai sebuah masyarakat yang terhormat, yang mulia dan berbudi kebangsaan yang luhur. Kebudayaan Aceh yang telah mengalami perkembangan sejak beberapa abad yang lalu dan diperkirakan telah berkembang sejak pada masa abad ke-13 dan mencapai puncaknya pada masa abad ke-17 sekitar pemerintah Sultan Iskandar Muda. Kebudayaan Aceh mengalami pasang surut akibat kolonialisasi Belanda dan perpecahan dari dalam masyarakat Aceh sendiri. Setelah Indonesia merdeka, kebudayaan Aceh mencari identitasnya sendiri dan berhadapan pula dengan kebudayaan nasional.
Rujukan:
- Ismail Suny, Bunga Rampai Tentang Aceh, ( Jakarta: Bhatara Karya Aksara 1980),
- Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia 2006),
- Taufik Abdullah, dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Asia Tenggara, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve 2004),
- Taufik Abdullah (ed), Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta: CV Rajawali, 1983),
- Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia: jilid IV, (Jakarta: Balai Pustaka 1993).
- B. Setiawan, dkk, Ensiklopedi Nasional Indonesia: jilid I, (Jakarta: Delta Pamungkas 2004),
- Snouck Hurgronje, Aceh dan Adat Istiadat, (Jakarta: INIS 1996), h. 46, penterjemah: Sutan Maimoen