Advertisement
Jejak Pendidikan- Sesosok manusia tertangkap kamera pengendara motor trail yang sedang menjelajah hutan di Aceh. Mereka mengejar orang kerdil yang berlari cepat itu. Rekaman yang diunggah ke laman youtube kemudian viral dan mendapat pemberitaan luas.
Ahli antropologi yang dikutip media massa menduga orang itu adalah suku Mante yang hidup di hutan. Suku kuno ini sempat dinyatakan punah, namun rekaman itu membuktikan mereka masih ada. Selain Mante, mereka juga disebut dengan beberapa nama: Mantir, Mantra, Manteu, dan Bante.
Buku Ensiklopedi Aceh: Adat, Bahasa, Geografi, Kesenian, Sejarah, menyebut bahwa di kalangan peneliti sejarah dan antropologi, asal-usul bangsa Aceh adalah dari suku Mantir (Manteu, bahasa Aceh) yang hidup di rimba raya Aceh. Suku ini mempunyai ciri-ciri dan postur tubuh yang agak kecil dibandingkan dengan orang Aceh sekarang. Diduga suku Mante ini mempunyai kaitan dengan suku bangsa Mantera di Malaka, bagian dari bangsa Khmer dari Hindia Belakang.
Menurut Zainuddin dalam Tarich Atjeh dan Nusantara, bangsa Aceh termasuk ke dalam lingkungan rumpun bangsa Melayu, yaitu bangsa-bangsa Mante (Bante), Lanun, Sakai Djakun, Semang (orang laut), Senui dan lain-lain yang berasal dari negeri Perak dan Pahang menurut etnologi, ada hubungannya dengan bangsa Phonesia dan Babylonia dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga.
“Menurut Zainuddin etnis Aceh mempunyai kesamaan dengan etnis Melayu lainnya yang ada di Malaysia yaitu dari Perak dan Pahang. Etnis tersebut diduga berasal dari Babylonia dan India,” tulis Abdul Rani Usman, kepala pusat penelitian dan penerbitan UIN Ar-Raniry Aceh, dalam Sejarah Peradaban Aceh.
Menurut Usman, para imigran datang ke Aceh pada ribuan tahun sebelum masehi. Kehadiran mereka dalam dua gelombang. Periode pertama merupakan suku Melayu lama, mereka hidup di daerah pesisir Aceh. Kedatangan suku Melayu baru membuat mereka masuk dan menetap di pedalaman. Suku Melayu lama enggan menerima pembauran sehingga mereka menetap di dataran tinggi.
“Imigran yang lebih dulu berimigrasi disebut etnis Gayo di Aceh Tengah dan suku Mante di Aceh Besar,” tulis Usman.
Sampai sekarang belum ada penelitian yang khusus dan mendalam mengenai suku Mante. Keberadaan suku itu berdasarkan cerita masyarakat Aceh yang pernah melihatnya. Hal itu diakui oleh Christiaan Snouck Hurgronje, penasihat pemerintah Hindia Belanda untuk masalah pribumi dan Arab/Islam, yang menyelidiki masyarakat Aceh agar dapat ditaklukkan dalam Perang Aceh.
Dalam bukunya, Aceh: Rakyat dan Adat Istiadatnya, Volume 2, Snouck mencatat bahwa “menurut kabar, orang Mante ini tanpa busana dan tubuh mereka berambut tebal; dikabarkan bahwa mereka mendiami pegunungan di Mukim XXII; akan tetapi, semua informasi kita hanya berasal dari cerita.”
Snouck mendapatkan cerita dari penduduk Aceh yang mengisahkan bahwa “di masa kakek mereka sepasang suami-istri orang Mante tertangkap dan dihadapkan kepada Sultan Aceh. Akan tetapi, meskipun dengan segala upaya, penghuni hutan itu menolak untuk berbicara atau makan, dan akhirnya mati kelaparan.”
Sebagai suku primitif yang tinggal di dalam hutan, orang Mante pernah dijadikan label untuk merendahkan orang lain. Menurut Snouck, dalam tulisan tentang Aceh dan dalam percakapan sehari-hari, orang yang tolol dan serba canggung disamakan dengan orang Mante. Di daerah dataran rendah, perkataan ini juga dipakai untuk memberi julukan kepada penduduk dataran tinggi, yang dianggap mereka kurang beradab dan dalam arti yang sama juga diterapkan pada penduduk pantai barat yang berdarah campuran. Bahkan, menurut Snouck, Mante (orang hutan) juga disebut sebagai “sekelompok orang yang sering diceritakan sebagai makhluk jahat dalam dongengan Aceh.”
Kendati demikian, dalam masyarakat Aceh pernah terdapat penggolongan rakyat kedalam soeke (suku) atau kawon (kaum) berdasarkan keturunan dari nenek moyang pihak laki-laki dan adat istiadatnya.
Pada masa itu, ada empat kawon antara lain Kawon Ja Sandang yaitu orang Hindu yang bekerja untuk majikan masing-masing; Kawon Imeum peut (kaum imam empat) yaitu orang Hindu yang telah memeluk agama Islam; dan Kawon Tok Batu terdiri dari orang-orang asing, seperti Arab, Parsi, Turki, Keling, dan Tionghoa. Sedangkan orang Mante dan Batak masuk dalam Kawon Lherentoih (suku tiga ratus).
sumber: advokasirakyat
Ahli antropologi yang dikutip media massa menduga orang itu adalah suku Mante yang hidup di hutan. Suku kuno ini sempat dinyatakan punah, namun rekaman itu membuktikan mereka masih ada. Selain Mante, mereka juga disebut dengan beberapa nama: Mantir, Mantra, Manteu, dan Bante.
Buku Ensiklopedi Aceh: Adat, Bahasa, Geografi, Kesenian, Sejarah, menyebut bahwa di kalangan peneliti sejarah dan antropologi, asal-usul bangsa Aceh adalah dari suku Mantir (Manteu, bahasa Aceh) yang hidup di rimba raya Aceh. Suku ini mempunyai ciri-ciri dan postur tubuh yang agak kecil dibandingkan dengan orang Aceh sekarang. Diduga suku Mante ini mempunyai kaitan dengan suku bangsa Mantera di Malaka, bagian dari bangsa Khmer dari Hindia Belakang.
Menurut Zainuddin dalam Tarich Atjeh dan Nusantara, bangsa Aceh termasuk ke dalam lingkungan rumpun bangsa Melayu, yaitu bangsa-bangsa Mante (Bante), Lanun, Sakai Djakun, Semang (orang laut), Senui dan lain-lain yang berasal dari negeri Perak dan Pahang menurut etnologi, ada hubungannya dengan bangsa Phonesia dan Babylonia dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga.
“Menurut Zainuddin etnis Aceh mempunyai kesamaan dengan etnis Melayu lainnya yang ada di Malaysia yaitu dari Perak dan Pahang. Etnis tersebut diduga berasal dari Babylonia dan India,” tulis Abdul Rani Usman, kepala pusat penelitian dan penerbitan UIN Ar-Raniry Aceh, dalam Sejarah Peradaban Aceh.
Menurut Usman, para imigran datang ke Aceh pada ribuan tahun sebelum masehi. Kehadiran mereka dalam dua gelombang. Periode pertama merupakan suku Melayu lama, mereka hidup di daerah pesisir Aceh. Kedatangan suku Melayu baru membuat mereka masuk dan menetap di pedalaman. Suku Melayu lama enggan menerima pembauran sehingga mereka menetap di dataran tinggi.
“Imigran yang lebih dulu berimigrasi disebut etnis Gayo di Aceh Tengah dan suku Mante di Aceh Besar,” tulis Usman.
Sampai sekarang belum ada penelitian yang khusus dan mendalam mengenai suku Mante. Keberadaan suku itu berdasarkan cerita masyarakat Aceh yang pernah melihatnya. Hal itu diakui oleh Christiaan Snouck Hurgronje, penasihat pemerintah Hindia Belanda untuk masalah pribumi dan Arab/Islam, yang menyelidiki masyarakat Aceh agar dapat ditaklukkan dalam Perang Aceh.
Dalam bukunya, Aceh: Rakyat dan Adat Istiadatnya, Volume 2, Snouck mencatat bahwa “menurut kabar, orang Mante ini tanpa busana dan tubuh mereka berambut tebal; dikabarkan bahwa mereka mendiami pegunungan di Mukim XXII; akan tetapi, semua informasi kita hanya berasal dari cerita.”
Snouck mendapatkan cerita dari penduduk Aceh yang mengisahkan bahwa “di masa kakek mereka sepasang suami-istri orang Mante tertangkap dan dihadapkan kepada Sultan Aceh. Akan tetapi, meskipun dengan segala upaya, penghuni hutan itu menolak untuk berbicara atau makan, dan akhirnya mati kelaparan.”
Sebagai suku primitif yang tinggal di dalam hutan, orang Mante pernah dijadikan label untuk merendahkan orang lain. Menurut Snouck, dalam tulisan tentang Aceh dan dalam percakapan sehari-hari, orang yang tolol dan serba canggung disamakan dengan orang Mante. Di daerah dataran rendah, perkataan ini juga dipakai untuk memberi julukan kepada penduduk dataran tinggi, yang dianggap mereka kurang beradab dan dalam arti yang sama juga diterapkan pada penduduk pantai barat yang berdarah campuran. Bahkan, menurut Snouck, Mante (orang hutan) juga disebut sebagai “sekelompok orang yang sering diceritakan sebagai makhluk jahat dalam dongengan Aceh.”
Kendati demikian, dalam masyarakat Aceh pernah terdapat penggolongan rakyat kedalam soeke (suku) atau kawon (kaum) berdasarkan keturunan dari nenek moyang pihak laki-laki dan adat istiadatnya.
Pada masa itu, ada empat kawon antara lain Kawon Ja Sandang yaitu orang Hindu yang bekerja untuk majikan masing-masing; Kawon Imeum peut (kaum imam empat) yaitu orang Hindu yang telah memeluk agama Islam; dan Kawon Tok Batu terdiri dari orang-orang asing, seperti Arab, Parsi, Turki, Keling, dan Tionghoa. Sedangkan orang Mante dan Batak masuk dalam Kawon Lherentoih (suku tiga ratus).
sumber: advokasirakyat