Pengertian Perilaku Keagamaan
Jejak Pendidikan- Secara etimologi perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu
terhadap rangsangan atau lingkungan. Sedangkan kata keagamaan berasal dari kata
dasar agama yang berarti sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran
kebaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Dengan demikian
perilaku keagamaan berarti segala tindakan itu perbuatan atau ucapan yang
dilakukan seseorang sedangkan perbuatan atau tindakan serta ucapan tadi akan
terkaitannya dengan agama, semuanya dilakukan karena adanya kepercayaan kepada
Tuhan dengan ajaran, kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan
kepercayaan.
Dalam psikologi dijelaskan bahwa behavior come with the
transition for external to internal authority and consists of conduct regulated
from within. Artinya perilaku muncul bersama dengan peralihan kekuasaan
eksternal ke internal dan terdiri atas tingkah laku yang diatur dari dalam,
yang disertai perasaan tanggung jawab pribadi untuk tindakan masing-masing. Menurut
Subyanto perilaku keagamaan adalah “segala bentuk amal perbuatan, ucapan,
pikiran, dan keikhlasan seseorang sebagai bentuk ibadah.
Pendidikan agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berakhlak mulia. Peningkatan potensi spiritual yang dimaksud adalah mencakup
pengalaman, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan
nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual maupun kolektif kemasyarakatan.
Peningkatan potensi tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi sebagai potensi yang dimiliki
manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabat sebagai makhluk
tuhan yang berakhlak mulia.
Dengan demikian dari beberapa pengertian di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa perilaku keagamaan adalah segala aktifitas atau aspek perilaku
yang didasarkan pada nilai-nilai keagamaan, baik dari dimensi vertikal yakni
hubungan antara manusia dengan tuhannya ataupun dimensi horisontal yakni
hubungan antara manusia dengan sesama manusia dan lingkungan.
Proses Pembentukan Perilaku keagamaan
Hidup beragam adalah suatu sifat yang asli pada manusia dan itu
adalah nalirah, gazilah, fitrah, kecenderungan yang telah menjadi pembawaan dan
bukan sesuatu yang dibuat-buat atau keinginan yang datang kemudian, lantaran
pengaruhnya dari luar. Seperti halnya dengan keinginan makan, minum, memiliki
harta benda, berkuasa dan bergaul sesama manusia. Dengan demikian, maka manusia
itu pada dasarnya adalah makhluk yang religius yang sangat cenderung kepada
hidup beragama, itu adalah panggilan hati nuraninya. Sebab itu andai kata Tuhan
tidak mengutus para Rosul-rosul-Nya untuk menyampaikan agama-Nya kepada manusia
maka mereka akan berikhtiar sendiri mencari agama itu, seperti ia berikhtiar
untuk mencari makan dan minum saat ia lapar, dan sejarah manusia telah
membuktikan bahwa mereka telah berikhtiar sendiri telah dapat menciptakan agama
yang disebut agama arddhiyah.
Perkembangan perilaku keagamaan pada anak terjadi melalui
pengalaman sejak kecil, dalam keluarga, sekolah, dan dalam masyarakat. Semakin
banyak pengalaman yang bersifat agama (sesuai ajaran agama) akan semakin banyak
unsur agama, maka sikap, tindakan, kelakuan, dan caranya menghadapi hidup
sesuai dengan ajaran agama.
Perlakuan orang tua terhadap anak tertentu dan terhadap semua
anaknya sangat berpengaruh pada anak-anaknya sendiri, perlakuan keras akan
berakibat lain daripada perlakuan yang lemah lembut dalam pribadi anak.
Hubungan yang serasi dan penuh kasih sayang dan pengertian akan membawa pribadi
yang tenang, terbuka dan mudah dididik dan diarahkan karena ia mendapat
kesempatan yang cukup dan baik untuk tumbuh dan berkembang dalam fikirannya,
dan sebaliknya hubungan orang tua yang tidak serasi akan membawa anak pad
pertumbuhan pribadi yang sukar dan tidak mudah dibentuk dan diarahkan, karna ia
tidak mendapat suasana yang baik untuk berkembang dalam berfikir.
Selain di atas banyak sekali faktor-faktor tidak langsung dalam
keluarga yang mempengaruhi terbentuknya perilaku keagamaan anak. Di samping itu
tentunya nilai pendidikan yang mengarah kepada perilaku keagamaan baginya,
yaitu pembinaan-pembinaan tertentu yang dilakukan orang tua terhadap anak, baik
melalui latihan-latihan, perbuatan sehari-hari, misalnya seperti makan, minum,
mandi, tidur, berpakaian dan lain sebagainya.
Dimensi keagamaan
Dalam sehari-hari manusia senantiasa melakukan aktivitas-aktivitas
kehidupannya atau dalam arti melakukan tindakan baik itu erat hubungannya
dengan dirinya sendiri atau orang lain yang biasa dikenal dengan komunikasi. Keberagamaan
atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Bukan hanya
terjadi ketika melakukan ritual keagamaan, namun juga segala aktivitas yang
didorong oleh kekuatan supranatural oleh karena itu keagamaan seseorang akan
meliputi berbagai macam dimensi, sebagaimana menurut Glock dan Strak yang
meliputi beberapa dimensi yaitu.
1) Demensi Ideologi atau keyakinan.
Demensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana religius
berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan meyakini kebenaran dan
doktrin-doktrin tersebut. Sikap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan
dimana para penganut diharapkan akan taat. Dimensi keyakinan diartikan sebagai
tingkatan sejauh mana individu menerima kebenaran dari ajaran agamanya,
terutama terhadap ajaran-ajaran agama fundamental atau bersifat dogmatik. Dalam
agama Islam, dimensi ini menyangkut keyakinan terhadap Allah, Malaikat, Nabi,
Kitab, Qadha dan Qadar.
2) Dimensi Ritual
Dimensi ritual diartikan sebagai tingkatan sejauh mana individu
mengerjakan kewajiban-kewajiban ritual dan agamanya. Dalam agama Islam, isi
dari dimensi ini dikaitkan dengan pelaksanaan sholat, puasa, zakat, haji,
berdoa dan mengaji.
3) Dimensi Pengetahuan Agama
Dimensi isi mengacu kepada harapan-harapan bahwa orang-orang yang
beragama paling tidak memiliki sejumlah pengetahuan mengenai dasar-dasar
keyakinan, kitab suci hukum, dan tradisi.
4) Dimensi Konsekuensi
Dimensi ini mengacu kepada identifikasi
akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari
kesehariannya. Di dalam Islam, dimensi ini meliputi akidah, syariah dan akhlak. Dimensi konsekuensi mencakup perbuatan, orang yang mempunyai konsekuensi
beragama mempunyai pegangan agama yang teguh dan tercermin dalam perilaku
kehidupan sehari-hari.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Keagamaan
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku keagamaan yaitu:
1) Faktor Internal (Pembawaan)
Setiap manusia yang lahir kedua ini menurut fitrah kejadiannya
mempunyai potensi beragama atau keimanan kepada Tuhan atau percaya adanya
kekuatan diluar dirinya yang mengatur hidup dan kehidupan alam semesta. Dalam
perkembangannya, fitrah beragama ini ada yang berjalan secara ilmiah dan ada
juga yang mendapat bimbingan dari para Rasulullah, sehingga fitrah itu
berkembang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Keyakinan bahwa manusia itu
mempunyai fitrah atau kepercayaan kepada Tuhan didasarkan pada firman Allah
dalam QS. Ar-Ruum :30 yang berbunyi
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Ruum /30:30).
2) Faktor Eksternal
Merupakan faktor fitrah beragama yang mempunyai potensi atau
kecenderungan untuk berkembang. Namun, perkembangan itu tidak akan terjadi jika
tidak ada faktor dari luar (eksternal) yang memberikan pendidikan (bimbingan,
pengajaran, dan latihan) yang memungkinkan fitrah itu berkembang dengan
sebaik-baiknya. Yang termasuk dalam faktor eksternal yaitu:
a) Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan payung kehidupan bagi seorang anak. Keluarga
merupakan tempat ternyaman bagi seorang anak. Dalam setiap masyarakat, ayah
dan ibu merupakan pranata sosial yang sangat penting artinya bagi kehidupan
sosial. Seseorang menghabiskan paling banyak waktunya dalam ayah dan ibu
dibandingkan dengan di tempat-tempat lain, dan ayah dan ibu adalah wadah di
mana sejak dini seorang anak dikondisikan dan dipersiapkan untuk kelak dapat
melakukan peranan-peranannya dalam dunia orang dewasa. Keluarga juga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak,
oleh karena itu peranan keluarga (orang tua) dalam pengembangan kesadaran
beragama sangatlah dominan.
Seorang ahli psikologi, yaitu Harlock berpendapat bahwa keluarga
merupakan “Training Centre” bagi penanaman nilai-nilai (termasuk
nilai-nilai agama). Pendapat ini menunjukkan bahwa keluarga mempunyai peran
sebagai pusat pendidikan bagi anak untuk memperoleh pemahaman tentang
nilai-nilai (tata krama, sopan santun, atau ajaran agama) dan kemampuan untuk
mengamalkan atau menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara proporsional
maupun sosial kemasyarakatan.
Peranan keluarga terkait dengan upaya-upaya orang tua dalam menanam
nilai-nilai agama kepada anak, yang prosesnya berlangsung pada masa pra lahir
atau dalam kandungan dan pasca lahir. Pentingnya penanaman nilai-nilai agama
pada masa pra lahair didasarkan kepada pengamatan para ahli psikologi terhadap
orang-orang yang mengalami gangguan jiwa. Hasil pengamatan tersebut menunjukkan
bahwa gangguan jiwa mereka dipengaruhi oleh keadaan emosi atau sikap orang tua
(ibu) pada masa mereka dalam kandungan.
Upaya orang tua dalam mengembangkan jiwa beragama anak pada masa
kandungan dilakukan secara tidak langsung, karena kegiatannya bersifat
pengembangan sikap kebiasaan dan perilaku-perilaku keagamaan pada diri orang
tua itu sendiri. Upaya yang dilakukan orang tua (ibu) pada masa dalam kandungan
diantaranya sebagai berikut :
- Membaca do’a saat berhubungan badan dengan suami istri.
- Meningkatkan kualitas ibadah sholat wajib dan sunnah.
- Tadarus al-Qur’an dan mempelajari tafsirnya.
- Memperbanyak dzikir kepada Allah.
- Memanjatkan do’a kepada Allah terkait dengan permohonan untuk memperoleh keturunan yang sholih sholihah.
Adapun upaya orang tua setelah anak lahir menurut Syamsu Yusuf
yaitu :
- Pada anak usia 7 (tujuh) hari lakukanlah aqiqah sebagai sunnah Rasul.
- Orang tua hendaknya mendidik anak tentang ajaran agama, seperti rukun iman, rukun Islam, cara-cara berwudhu, bacaan dan gerakan sholat, berdzikir, hukum-hukum (wajib, sunah, halal, dan haram) dan akhlak terpuji.
- Orang tua hendaknya memelihara hubungan yang harmonis antar anggota keluarga.
- Orang tua merupakan pembina pribadi dan akhlak anak yang pertama, dan sebagai tokoh yang diidentifikasi, diimitasi atau ditiru oleh anak, maka mereka memiliki kepribadian yang baik atau berakhlakul karimah.
- Orang tua hendaknya memperlakukan anak dengan cara baik.
- Orang tua hendaknya tidak memperlakukan anak secara otoriter atau perlakuan yang keras karena akan mengakibatkan perkembangan pribadi atau akhlak anak yang tidak baik.
Maka dari itu dalam keluarga, orang tua harus mampu menciptakan
hubungan keluarga yang harmonis dan agamis. Karena sebagian waktu anak
digunakan dalam lingkungan keluarga, maka hubungan dengan anggota keluarga
menjadi landasan sikap anak dalam kehidupan sosial.
Hubungan orang tua yang efektif, penuh
kemesraan dan tanggung jawab yang didasari oleh kasih sayang yang tulus
sehingga anak akan mampu mengembangkan aspek-aspek kepribadian yang bersifat
individu, sosial dan keagamaan.
b) Lingkungan masyarakat
Lingkungan masyarakat adalah situasi atau kondisi interaksi sosial
dan sosio-kultural yang secara potensial berpengaruh terhadap perkembangan
fitrah keagamaan anak. Dalam masyarakat
anak melakukan interaksi sosial kepada teman sebayanya atau anggota masyarakat
lainnya. Apabila teman sepergaulan itu menampilkan perilaku yang baik dan
sesuai dengan nilai-nilai agama atau berakhlak mulia, maka anak cenderung
berakhlak mulia, begitu pula sebaliknya jika teman sepergaulanya berprilaku
buruk.
Kualitas pribadi, perilaku atau akhlaq orang dewasa yang menjadi
penunjang bagi perkembangan perilaku keagamaan anak adalah mereka yang taat dan
rajin melakukan ajaran agama seperti ibadah ritual, menjalin persaudaraan,
saling menolong, bersikap jujur dan selalu menunjukkan perilaku akhlakul
karimah.
c) Lingkungan sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai program
sistematik dalam melaksanakan bimbingan pengajaran dan latihan kepada anak,
agar mereka berkembang sesuai dengan potensinya secara optimal, baik menyangkut
aspek fisik, psikis (intelektual dan emosional), sosial maupun moral spiritual.
Iman Ghozali mengemukakan tentang peran guru dalam pendidikan akhlak anak bahwa
menyembuhkan badan perlu seorang dokter yang tahu tabiat badan serta
macam-macam penyakit dan cara-cara penyembuhannya. Demikian pula halnya dengan
penyembuhan jiwa dan akhlak. Keduanya membutuhkan guru yang tahu tentang tabiat
dan kekurangan jiwa manusia serta tentang cara memperbaiki dan mendidiknya.
Dari penjelasan di atas baik dari
lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah sangatlah berpengaruh dalam
pembentukan perilaku keagamaan anak. Ketiganya sama-sama memberikan kontribusi
dalam pembentukan perilaku keagamaan anak. Namun lingkungan keluargalah yang
paling utama karena keluarga merupakan pusat pendidikan yang utama, pertama dan
mendasar.