Advertisement
1. Pengertian Kenakalan remaja
Jejak Pendidikan- Secara etimologi, kata
"remaja" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
mulai dewasa, sudah sampai umur untuk kawin. Istilah asing yang sering dipakai
untuk menunjukkan masa remaja, antara lain puberteit, adolescentia dan youth.
Dalam bahasa Indonesia sering pula dikatakan pubertas atau remaja. Dalam
berbagai macam kepustakaan istilah-istilah tersebut tidak selalu sama
uraiannya. Apabila melihat asal kata istilah-istilah tadi, maka akan diperoleh:
- "Puberty (Inggris) atau puberteit (Belanda) berasal dari bahasa Latin: pubertas. Pubertas berarti kelaki-lakian, kedewasaan yang dilandasi oleh sifat dan tanda-tanda kelaki-lakian.
- Adolescentia berasal dari kata Latin: adulescentia. Dengan adulescentia dimaksudkan masa muda, yakni antara 17 dan 30 tahun."
Dari pemakaian istilah
di beberapa negara dapat disimpulkan bahwa tujuan penyorotan juga tidak selalu
sama, walaupun batas-batas umur yang diberikan dalam penelaahan mungkin sama.
Dari kepustakaan didapatkan bahwa puberteit adalah masa antara
12 dan 16 tahun. Pengertian pubertas meliputi perubahan-perubahan fisik dan psikis,
seperti halnya pelepasan diri dari ikatan emosionil dengan orang tua dan
pembentukan rencana hidup dan sistem nilai sendiri. Perubahan pada masa ini
menjadi obyek penyorotan terutama perubahan dalam lingkungan dekat, yakni dalam
hubungan dengan keluarga.
Adolescentia adalah masa sesudah pubertas, yakni masa antara
17 dan 22 tahun. Pada masa ini lebih diutamakan perubahan dalam hubungan dengan
lingkungan hidup yang lebih luas, yakni masyarakat di mana ia hidup. Tinjauan
psikologis dilakukan terhadap usaha remaja dalam mencari dan memperoleh tempat
dalam masyarakat dengan peranan yang tepat. Menurut F.J. Monks, masa remaja
sering pula disebut adolesensi (Latin, adolescere= adultus=
menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa).
Secara terminologi, para
ahli merumuskan masa remaja dalam pandangan dan tekanan yang berbeda, di
antaranya menurut Zakiah Daradjat, masa remaja (adolesensi) adalah
"masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa, di mana anak-anak
mengalami pertumbuhan cepat di segala bidang. Mereka bukan lagi anak-anak, baik
bentuk jasmani, sikap, cara berfikir dan bertindak, tetapi bukan pula orang
dewasa yang telah matang. Masa ini mulai kira-kira pada umur 13 tahun dan
berakhir kira-kira umur 21 tahun."
Menurut M. Arifin,
Bagi setiap remaja mempunyai batasan usia bagi remaja masingmasing yang satu sama lain tidak sama. Di negara Indonesia, dalam rangka usaha pembinaan dan usaha penanggulangan kenakalan remaja, agar secara hukum jelas batas-batasnya, maka ditetapkanlah batas usia bawah dan usia atas. Batas usia bawah sebaiknya adalah 13 tahun dan batas usia atas adalah 17 tahun baik laki-laki maupun perempuan dan yang belum kawin (nikah). Dengan demikian, maka perilaku yang nakal yang dilakukan oleh anak di bawah umur 13 tahun dikategorikan dalam kenakalan “biasa” dan sebaliknya perilaku nakal oleh anak usia 18 tahun ke atas adalah termasuk dalam tindak pelanggaran atau kejahatan. Penentuan batas usia tersebut di atas berdasarkan alasan di antaranya: kenakalan remaja, menurut data yang diperoleh selama ini, banyak terjadi dalam bentuk dan sifat kenakalan yang dilakukan oleh anak usia 13 tahun sampai dengan anak usia 17 tahun. Bentuk kenakalan yang dilakukan oleh anak usia sebelum 13 tahun pada umumnya belum begitu serius dan membahayakan dibandingkan dengan yang dilakukan oleh anak usia 13 tahun atas.
Sedang usia 18 tahun ke
atas adalah dipandang sudah menjelang dewasa yang telah terkena sanksi
hukum." Adapun istilah kenakalan remaja merupakan
terjemahan dari kata” Juvenile Delinquency”. Juvenile berasal
dari bahasa Latin juvenilis, artinya anak-anak, anak muda,
ciri karakteristik pada masa muda, sifatsifat khas pada periode remaja. Delinquent berasal
dari kata Latin “delinquere” yang berarti : terabaikan, mengabaikan;
yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar
aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi,
durjana, dursila, dan lain-lain. Delinquency itu selalu
mempunyai konotasi serangan, pelanggaran,
kejahatan dan keganasan yang dilakukan oleh anak-anak muda di bawah usia 22
tahun.
"Istilah juvenile
delinquency dikemukakan oleh para sarjana dalam rumusan yang
bervariasi, namun substansinya sama misalnya: Kartini Kartono mengatakan juvenile
delinquency (juvenilis = muda, bersifat kemudaan; delinquency
dari delinqucuere = jahat, durjana, pelanggar, nakal) ialah anak-anak
muda yang selalu melakukan kejahatan, dimotivir untuk mendapatkan perhatian,
status sosial dan penghargaan dari lingkungannya."
John M Echols dan Hassan
Shadily, menterjemahkan juvenile delinquency sebagai
kejahatan/kenakalan anak-anak/anak muda/mudamudi. sebagai berikut:
Juvenile delinquency in most jurisdiction is technically speaking a child or young person (in most states under 16, 17, 18; in two states under 21) who has commited an offense for which he may referred to juvenile court authorities."
Berdasarkan perumusan
ini dapat digaris bawahi: (a) bahwa anak harus berumur 21 tahun, (b) termasuk
yurisdiksi pengadilan anak. Faktor inilah yang menentukan status seseorang
menjadi juvenile delinquent.
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kenakalan remaja yaitu kehidupan remaja yang
menyimpang dari berbagai pranata dan norma yang berlaku umum atau remaja yang
perbuatannya menyimpang dari norma-norma agama, hukum, dan adat istiadat yang
hidup dan
berkembang dalam
masyarakat sehingga meresahkan kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara. Adapun jenis-jenis bentuk kenakalan remaja seperti,
kebut-kebutan di jalan raya yang membahayakan, ugal-ugalan, berandalan, urakan
yang mengacaukan lingkungan, perkelahian antar gang, tawuran yang membawa
kurban jiwa, membolos sekolah lalu bergelandangan di jalan-jalan dan mal-mal.
2. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Kenakalan remaja
Berbicara faktor-faktor
terjadinya kenakalan remaja sangat luas dan beragam, sehingga tidak ada
satu kesatuan pendapat. Ada yang melihat dari sudut pandang psikologi, agama,
ekonomi, hukum, sosiologi dan kriminologi. Dari aspek kriminologi, W.A. Bonger
dalam bukunya Inleiding tot de Criminologie, antara lain
mengemukakan:
Kenakalan remaja sudah merupakan bagian yang besar dalam kejahatan. Kebanyakan penjahat yang sudah dewasa umumnya sudah sejak mudanya menjadi penjahat, sudah merosot kesusilaannya sejak kecil barang siapa menyelidiki sebab-sebab kenakalan remaja dapat mencari tindakan-tindakan pencegahan kenakalan remaja itu sendiri, yang kemudian akan berpengaruh baik pula terhadap pencegahan kejahatan orang dewasa."
Dalam formulasi yang
lain, Rusli Effendi dan As-Alam, menyatakan :
Perlunya diadakan penelitian yang mendalam di daerah-daerah di Indonesia mengenai sebab-sebab kenakalan remaja. Karena tanpa penelitian tidak dapatlah diadakan penanggalan secara efesien dan efektif, lagi pula motif-motif kenakalan di berbagai daerah berbeda satu sama lain."
Menurut pengalaman POLRI, sebagai dikutip oleh Ninik Widiyanti dan Yullus Waskita, dalam menangani kasus yang terjadi di masyarakat dapat dikatakan banyak faktor yang turut mempengaruhi terjadinya kenakalan remaja. Untuk terjadinya suatu pelanggaran maka dua unsur-harus bertemu yaitu niat untuk melakukan suatu pelanggaran dan kesempatan untuk melaksanakan niat tersebut. Jika hanya ada salah satu dari kedua unsur tersebut di atas maka tidak akan terjadi apa-apa, yaitu ada niat untuk melakukan pelanggaran tetapi tidak ada kesempatan untuk melaksanakan niat tersebut, maka tidak mungkin terlaksana pelanggaran itu."
Salah seorang ahli
kriminologi di Indonesia, Soejono Dirdjosisworo, pada intinya membagi sebab
musabab kenakalan remaja terdiri dari ":
(1) sebab intern yang
terdapat dalam diri si anak;
(2) sebab eksteren yang
terdapat di luar diri si anak."
Sudarsono menguraikan
sebab-sebab kenakalan remaja yang oleh penulis disimpulkan sebagai
berikut : kenakalan remaja akan muncul karena beberapa sebab, baik
karena salah satu maupun bersamaan, yaitu keadaan keluarga, keadaan sekolah dan
keadaan masyarakat. Dari sudut psikologi, Dadang Hawari, mengatakan:
"Remaja kita dalam kehidupannya sehari-hari hidup dalam tiga kutub, yaitu
kutub keluarga, sekolah dan masyarakat. Kondisi masing-masing kutub dan interaksi
antar ketiga kutub itu, akan menghasilkan dampak yang posisif maupun negatif
pada remaja.
Dampak positif misalnya
prestasi sekolahnya baik dan tidak menunjukkan perilaku antisosial. Sedangkan
dampak negative misalnya, prestasi sekolah merosot, dan menunjukkan perilaku menyimpang
(antisosial). Oleh karena itu pencegahan dan penanganan dampak negatif
tersebut, hendaknya ditujukan kepada ketiga kutub tadi secara utuh dan
tidak partial." Raema Andreyana, menguraikan faktor-faktor yang
mendukung terjadinya delinkuensi remaja, yang penulis simpulkan sebagai
berikut:
- Faktor keluarga, khususnya orang tua. Dalam hal ini orang tua yang kurang memahami arti mendidik anak, dan yang begitu sibuk bekerja.
- Hubungan suami istri yang kurang harmonis
- Faktor lingkungan
- Faktor sekolah, termasuk di dalamnya guru, pelajaran, tugas-tugas sekolah dan lain-lain yang berhubungan dengan sekolah.
Dari sudut ilmu pendidikan, M. Arifin mengamati masalah
remaja dengan menguraikan faktor-faktor terjadinya. M. Arifin menganggap bahwa
"keadaan dan lingkungan sekitar remaja puber yang bersifat negative akan
lebih mudah mempengaruhi tingkah laku yang negatif pula. Sebaliknya keadaan lingkungan sekitar yang
bersifat positif akan mengandung nilai-nilai konstruktif yang akan
memberikan pengaruh positif pula. Oleh karena situasi perkembangan jiwa
remaja yang labil
demikian itu, maka cenderung untuk melakukan penyimpangan
yang dirasakan sebagai suatu proses terhadap situasi dan kondisi masyarakat
yang kurang akomodatif terhadap angan-angan dan gejolak jiwanya." Menurut
Abdullah Nashih Ulwan, Banyak faktor penyebab terjadinya kenakalan pada anak
yang dapat menyeret mereka pada dekadensi moral dan ketidakberhasilan
pendidikan mereka di dalam masyarakat, dan kenyataan kehidupan yang pahit penuh
dengan "kegilaan." Betapa banyak sumber kejahatan dan kerusakan yang menyeret
mereka dari berbagai sudut dan tempat berpijak.
Oleh karena itu, jika para pendidik tidak dapat memikul
tanggung jawab dan amanat yang dibebankan kepada mereka, dan pula tidak
mengetahui faktor-faktor yang dapat menimbulkan kelainan pada anak-anak serta
upaya penanggulangannya, maka akan terlahir suatu generasi yang bergelimang
dosa dan penderitaan di dalam masyarakat. Menurut Abdullah Nashih Ulwan beberapa faktor yang menimbulkan
kenakalan remaja di antaranya:
- "Kemiskinan yang Menerpa Keluarga
- Disharmoni Antara Bapak dan Ibu
- Perceraian dan Kemiskinan Sebagai Akibatnya
- Waktu Senggang yang Menyita Masa Anak dan Remaja
- Pergaulan Negatif dan Teman yang Jahat
- Buruknya Perlakuan Orang Tua Terhadap Anak."
Merujuk pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kenakalan
remaja akan muncul karena beberapa sebab, baik karena salah satu maupun
bersamaan, yaitu keadaan keluarga, keadaan sekolah dan keadaan masyarakat.
faktor-faktor yang mendukung terjadinya delinkuensi remaja, yang penulis
simpulkan sebagai berikut:
- Faktor keluarga, khususnya orang tua. Dalam hal ini orang tua yang kurang memahami arti mendidik anak, dan yang begitu sibuk bekerja.
- Hubungan suami istri yang kurang harmonis
- Faktor lingkungan
- Faktor sekolah, termasuk di dalamnya guru, pelajaran, tugas-tugas sekolah dan lain-lain yang berhubungan dengan sekolah
3. Upaya Penanggulangan Kenakalan remaja Perspektif Pendidikan Islam
Menurut Kartini Kartono
penanggulangan kenakalan remaja dapat ditempuh sebagai berikut:
- Menghilangkan semua sebab-musabab timbulnya kejahatan remaja, baik yang berupa pribadi familial, sosial ekonomis dan kultural.
- Melakukan perubahan lingkungan dengan jalan mencarikan orang tua angkat/asuh dan memberikan fasilitas yang diperlukan bagi perkembangan jasmani dan rohani yang sehat bagi anak-anak remaja.
- Memindahkan anak-anak nakal ke sekolah yang lebih baik, atau ke tengah lingkungan sosial yang baik.
- Memberikan latihan bagi para remaja untuk hidup teratur, tertib dan berdisiplin.
- Memanfaatkan waktu senggang di kamp latihan, untuk membiasakan diri bekerja, belajar dan melakukan rekreasi sehat dengan disiplin tinggi.
- Menggiatkan organisasi pemuda dengan program-program latihan vokasional untuk mempersiapkan anak remaja delinkuen itu bagi pasaran kerja dan hidup di tengah masyarakat.
- Memperbanyak lembaga latihan kerja dengan program kegiatan pembangunan.
- Mendirikan klinik psikologi untuk meringankan dan memecahkan konflik emosional dan gangguan kejiwaan lainnya. Memberikan pengobatan medis dan terapi psikoanalitis bagi mereka yang menderita gangguan kejiwaan."
Menurut Sarlito Wirawan Sarwono, "untuk mengurangi
benturan gejolak remaja dan untuk memberi kesempatan agar remaja dapat
mengembangkan dirinya secara lebih optimal, perlu diciptakan kondisi lingkungan
terdekat yang setabil mungkin, khususnya lingkungan keluarga. Keadaan keluarga yang ditandai dengan hubungan
suami-istri yang harmonis akan lebih menjamin remaja yang bisa melewati
masa transisinya dengan mulus daripada jika hubungan suami-istri
terganggu. Kondisi
di rumah tangga dengan adanya orang tua dan saudara-saudara akan lebih menjamin
kesejahteraan jiwa remaja daripada asrama atau lembaga pemasyarakatan anak. Karena itu tindakan pencegahan yang paling
utama adalah berusaha menjaga perilaku menyimpang Pada Remaja keutuhan dan
keharmonisan keluarga sebaik-baiknya.
Kalau terjadi masalah dengan
suami-istri (ada yang meninggal, atau ada perceraian) lebih baik anak
dipindahkan ke sanak keluarga lain atau kalau perlu dipindahkan keluarga
lain yang tidak ada hubungan darah (misalnya tidak ada sanak-keluarga atau
harus kost) perlu dicarikan yang hubungan antar-anggota keluarganya cukup
harmonis. Baru sebagai jalan terakhir, kalau tidak ada jalan lain yang
lebih baik, bisa dianjurkan asrama atau lembaga pengasuhan anak lainnya
seperti Panti Asuhan dan sebagainya, akan tetapi jika dikehendaki
perkembangan jiwa anak yang seoptimal mungkin, perlu diusahakan agar
keadaan di asrama atau lembaga itu semirip mungkin dengan keadaan dalam
keluarga biasa."
Menurut Soerjono Soekanto, "delinkuensi anak-anak
yang terkenal di Indonesia adalah masalah cross boys dan crossgirl yang
merupakan sebutan bagi anak-anak muda yang tergabung dalam suatu ikatan/organisasi
formal atau semi formal dan yang mempunyai tingkahlaku yang kurang/tidak
disukai oleh masyarakat pada umumnya. Delinkuensi anak-anak di Indonesia meningkat pada tahun-tahun 1956 dan 1958
dan juga pada 1968-1969, hal mana sering disinyalir dalam pernyataan-pernyataan
resmi pejabat maupun, petugas-petugas penegak hukum. Juga terjadi
perkelahian antara siswa-siswa pelbagai sekolah di Jakarta dan kota-kota
lain".
Delinkuensi anak-anak meliputi pencurian, perampokan, pencopetan,
penganiayaan, pelanggaran susila, penggunaan obat-obat perangsang dan
mengendarai mobil (atau kendaraan bermotor lainnya) tanpa mengindahkan
norma-norma lalu lintas, Memang, apabila dibandingkan dengan delinkuensi anak-anak
di negara-negara lain, masalah tersebut belum merupakan masalah gawat di
Indonesia. Akan tetapi hal ini bukanlah berarti bahwa kita boleh lengah;
Sorotan terhadap delinkuensi anak-anak di Indonesia terutama
tertuju pada perbuatanperbuatan pelanggaran yang dilakukan oleh anak-anak
muda dari kelaskelas sosial tertentu. Perbuatan- perbuatan seperti
mengendarai kendaraan bermotor secara sewenang-wenang, penggunaan
obat-obat perangsang, pengedaran bahan-bahan pornografi, hanya dapat
dilakukan oleh mereka yang berasal dari golongan mampu. Adalah perlu pula
untuk mengadakan penelitian terhadap delinkuensi anak-anak
terutama yang berasal dari blighted area yaitu wilayah
kediaman dengan tingkat disorganisasi tinggi.
Menurut M. Arifin
penanggulangan kenakalan remaja dapat dibagi dalam pencegahan yang
bersifat umum dan pencegahan yang bersifat khusus:
a. Ikhtiar pencegahan
yang bersifat umum meliputi:
- Usaha pembinaan pribadi remaja sejak masih dalam kandungan melalui ibunya.
- Setelah lahir, maka anak perlu diasuh dan dididik dalam suasana yang stabil, menggembirakan serta optimisme.
- Pendidikan dalam lingkungan sekolah. Sekolah sebagai lingkungan kenakalan dua sebagai tempat pembentukan anak didik memegang peranan penting dalam membina mental, agama pengetahuan dan ketrampilan anak-anak didik. Kesalahan dan kekurangan-kekurangan dalam tubuh sekolah sebagai tempat mendidik, bias menyebabkan adanya peluang untuk timbulnya kenakalan remaja.
- Pendidikan di luar sekolah dan rumah tangga. Dalam rangka mencegah atau mengurangi timbulnya kenakalan remaja akibat penggunaan waktu luang yang salah, maka pendidikan di luar dua instansi tersebut di atas mutlak perlu ditingkatkan.
- Perbaikan lingkungan dan kondisi sosial".
b. Usaha-usaha
pencegahan yang bersifat khusus
Untuk menjamin
ketertiban umum, khususnya di kalangan remaja perlu diusahakan
kegiatan-kegiatan pencegahan yang bersifat khusus dan langsung sebagai
berikut:
- Pengawasan
- Bimbingan dan Penyuluhan. Bimbingan dan penyuluhan secara intensif terhadap orang tua dan para remaja agar orang tua dapat membimbing dan mendidik anak-anaknya secara sungguh-sungguh dan tepat agar para remaja tetap bertingkah laku yang wajar.
- Pendekatan-pendekatan khusus terhadap remaja yang sudah menunjukkan gejala-gejala kenakalan perlu dilakukan sedini mungkin. Sedangkan tindakan represif terhadap remaja nakal perlu dilakukan pada saat-saat tertentu oleh instansi Kepolisian R.I bersama Badan Peradilan yang ada. Tindakan ini harus dijiwai dengan rasa kasih sayang yang bersifat mendidik terhadap mereka, oleh karena perilaku nakal yang mereka perbuat adalah akibat, produk dari berbagai faktor intern dan extern remaja yang tidak disadari dapat merugikan pribadinya sendiri dan masyarakatnya".
Jadi tindakan represif
ini harus bersifat paedagogis, bukan bersifat “pelanggaran” ataupun
“kejahatan”. Semua usaha penanggulangan tersebut hendaknya didasarkan atas
sikap dan pandangan bahwa remaja adalah hamba Allah yang masih dalam
proses perkembangan/pertumbuhan menuju kematangan pribadinya yang membutuhkan
bimbingan dari orang dewasa yang bertanggung jawab. Menurut Zakiah Daradjat,
"faktor-faktor terjadinya kenakalan remaja perlu mendapat
penanggulangan sedini mungkin dari semua pihak, terutama orang tua, karena
orang tua merupakan basis terdepan yang paling dapat mewarnai perilaku anak. Untuk itu suami atau isteri harus bekerja
sama sebagai mitra dalam menanggulangi kenakalan remaja. Yang perlu
mendapat perhatian sebagai berikut:"
Pertama adalah soal
peningkatan pendidikan agama. Pendidikan agama harus dimulai dari rumah
tangga, sejak si anak masih kecil. Kadang-kadang orang menyangka bahwa
pendidikan agama itu terbatas kepada ibadah, sembahyang, puasa, mengaji
dan sebagainya. Padahal pendidikan agama harus mencakup keseluruhan hidup
dan menjadi pengendali dalam segala tindakan. Bagi orang yang menyangka bahwa
agama itu sempit, maka pendidikan agama terhadap anak-anak dicukupkannya
saja dengan memanggil guru mengaji ke rumah, atau menyuruh anaknya pergi
belajar mengaji ke sekolah atau ke tempat-tempat kursus lainnya. Padahal yang terpenting dalam
pembinaan jiwa agama, adalah keluarga, dan harus terjadi melalui
pengalaman hidup si anak dalam keluarga. Apa yang dilihat, didengar dan
dirasakan oleh si anak sejak ia kecil, akan mempengaruhi pembinaan
mentalnya.
Menurut Zakiah Daradjat, "supaya pembinaan jiwa
agama itu betul-betul dapat membuat kuatnya jiwa si anak untuk menghadapi
segala tantangan zaman dan suasana di kemudian hari, hendaknya ia dapat terbina
sejak lahir, bahkan sejak dalam kandungan sampai ia mencapai usia dewasa dalam
masyarakat. Untuk itu, kiranya
pemerintah, pemimpin masyarakat, alim ulama dan para pendidik juga
mengadakan usaha peningkatan pendidikan agama bagi keluarga, sekolah dan
masyarakat". Perkembangan agama pada masa anak, terjadi melalui
pengalaman hidupnya sejak kecil, dalam keluarga, di sekolah dan dalam
masyarakat lingkungan. Semakin banyak pengalaman yang bersifat agama,
(sesuai dengan ajaran agama) dan semakin banyak unsur agama, maka sikap, tindakan,
kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama.
Kedua, Orang tua harus
mengerti dasar-dasar pendidikan. Menurut Zakiah Daradjat apabila
pendidikan dan perlakuan yang diterima oleh si anak sejak kecil merupakan
sebab-sebab pokok dari kenakalan anak-anak, maka setiap orang tua haruslah
mengetahui dasar-dasar pengetahuan, minimal tentang jiwa si
anak dan pokok-pokok pendidikan yang harus dilakukan dalam menghadapi
bermacam-macam sifat si anak. Untuk membekali orang tua dalam menghadapi
persoalan anak-anaknya yang dalam umur remaja, orang tua perlu pengertian
sederhana tentang ciri-ciri remaja atau psikologi remaja. Orang tua
dapat mewarnai perilaku anak karna pengaruh orang tua sangat besar dalam
membentuk perilaku anak. Dalam proses pendidikan, anak sebelum mengenal
masyarakat yang lebih luas dan mendapat bimbingan dari sekolah, terlebih
dahulu memperoleh perawatan dan bimbingan dari kedua orang tuanya.
Perawatan dan bimbingan tersebut dengan dilandasi penuh edukatif yang
diberikan kedua orang tua, kemudian disusul pengaruh yang lain, seiring
dengan Sabda Rasul Saw:
Telah mengabarkan Adam kepada kami dari Ibnu Dzi'bu dari az-Zuhri dari Abi Salamah bin Abdurrahman dari Abu Hurairah r.a berkata: Rasulullah Saw. Bersabda: semua anak dilahirkan suci, orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. (H.R. al- Bukhari).
Hadis di atas pada intinya menyatakan bahwa setiap anak
itu lahir dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya yang akan menjadikan ia
Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Dari kedua orang tua terutama ibu, dan untuk
pertama kali pengaruh dari sesuatu yang dilakukan ibu itu secara tidak langsung
akan membentuk watak atau ciri khas kepada anaknya. Ibu merupakan orang tua yang pertama kali
sebagai tempat pendidikan anak. Karena ibu ibarat sekolah, jika ibu
mempersiapkan anak berarti ibu telah mempersiapkan generasi yang kokoh dan
kuat. Dengan generasi yang kuat berarti telah menginvestasikan sesuatu
pada diri anak agar bermanfaat kelak mengarungi kehidupan yang lebih
global bila dibandingkan waktu awal ada di dalam kandungan yang hidup
dalam lingkungan sempit.
Berdasarkan paparan di
atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan dalam keluarga disebut pendidikan
yang pertama dan utama, serta merupakan peletak fondasi dari watak dan
pendidikan anak. Oleh karena itu konsep pendidikan Islam perlu diterapkan
terutama dalam pendidikan keluarga karena pendidikan keluarga sebagai
fondasi terhadap lembaga pendidikan sekolah dan luar sekolah, atau dalam
masyarakat.
Rujukan:
- Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008),
- Ny. Y. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa, Psikologi Remaja, (Jakarta: BPK Gunung Agung, 2006),
- F.J. Monks, et.al, Psikologi Perkembangan, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2009)
- Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 2007),
- M. Arifin, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, (Jakarta: PT Golden Terayon Press, 2006)
- Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010)
- Kartini Kartono, Patologis Sosial 3 Gangguan-gangguan Kejiawaan, (Jakarta: CV. Rajawali, 2010),
- John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia (An Engglish-Indonesian Dictionary), (Jakarta: PT Gramedia, 2009),
- Imam al-Bukhâri, Sahîh al-Bukharî, Juz. I, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1990),
- Simanjutak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, (Bandung: Transito, 2006),
- W.A. Bonger, Pengantar tentang Kriminologi, terj. R.A. Koesnoen, (Jakarta: PT. Pembangunan, 2005),
- Lembaga Kriminologi Fakultas Hukum UNDIP, Laporan Seminar Kriminologi III, 1977, sebagaimana dikutip oleh Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Semarang: Galia Indonesia, 2006), hlm.139.
- Ninik Widiyanti dan Yullus Waskita, Kejahatan dalam Masyarakat dan Pencegahannya, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 2005)
- Soejono Dirdjosisworo, Bunga Rampai Kriminologi, (Bandung: Armico, 2007),
- Sudarsono, Etika Islam tentang Kenakalan Remaja, (Jakarta: Bina Aksara, 2005),
- Dadang Hawari, Psikiater, al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2005),
- Raema Andreyana dalam Kartini Kartono, Bimbingan Bagi Anak dan Remaja yang Bermasalah, Ed. I, ( Jakarta: CV. Rajawali, 2006),
- Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994)
- Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang 2009),
- Zakiah Daradjat, Remaja Harapan dan Tantangan, (Jakarta: Ruhama, 2006).