Beranda · Teknologi · Olahraga · Entertainment · Gaya Hidup

Konsep Dalam Penciptaan Suasana Religius

Jejak Pendidikan- Keberagamaan atau religiusitas dapat diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia yang tidak hanya melakukan ritual (beribadah) tetapi juga ketika melakukan aktifitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural, keluarga, sekolah dan masyarakat, karena pada dasarnya anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, anak lahir membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi di kemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap kematangan, ada yang berpendapat bahwa tanda-tanda keagamaan pada dirinya tumbuh terjalin secara integral dengan fungsi-fungsi kejiwaan lainnya.

Dalam dunia anak yang masih muda, sekitar 0-3 tahun sifat atau keyakinan beragama tidak akan timbul dengan sendirinya, jika anak tersebut tidak dipengaruhi oleh lingkungan bahkan akan hilang fitrah keagamaan yang dibawanya, sifat (keyakinan) beragama akan timbul apabila lingkungan betul-betul menunjukan situasi keagamaan, dengan lingkungan yang agamis anak dengan sendirinya akan terpengaruh.

Menurut Ernest Harms dalam bukunya “The development religion on childern” yang dikutip oleh Jalaluddin, ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak itu melalui beberapa fase (tingkatan) yaitu:

a. The Fairy Tale stage (tingkatan dongeng)
Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun, ditingkatan ini konsep mengenai tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi pada tingkatan perkembangan ini, anak menghayati konsep ketuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya, kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi sehingga dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantasi yang diliputi oleh dongen-dongeng yang kurang masuk akal.

b. The Realistis Stage (tingkatan kenyataan)
Tingkatan ini sejak anak masuk Sekolah Dasar (adolensense), apada masa ini ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan realis (kenyataan). Konsep ini timbul melalui lembaga keagamaan dan pengetahuan agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide ketuhanan pada anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep tuhan yang formalitas. Berdasarkan hal ini maka pada masa ini anak senang dan tertarik pada lembaga keagamaan yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka, segala bentuk tindak (amal) keagamaan mereka ikuti dan pelajari dengan penuh minat.

c. The Individual Stage (tingkat individu)
Pada tingkatan ini anak sudah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualitas terbagi atas tiga golongan yaitu: konsep ketuhanan yang konteksional dan konservatif dengan dipengaruhi sedikit fantasi. Hal tersebut disebabkan pengaruh luar, konsep ketuhanan yang lebih murni dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perorangan), dan konsep ketuhanan yang bersifat humanistic agama telah etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setip tingkatan dipengaruhi oleh faktor intern. Yaitu perkembangan usia dan faktor ekstern yang berupa pengaruh dari luar yang didalaminya.

Zakiyah Derajat dalam bukunya “Ilmu Jiwa Agama” mengemukakan perkembangan anak yaitu dimulai ketika anak dalam lingkungan keluarga dengan tahap sebagai berikut:
Si anak mulai mengenal tuhan dan agama melalui orang di lingkungan dimana mereka tinggal dan dibesarkan dalam lingkungan yang beragama mereka akan mendapatkan pengalaman agama itu melalui ucapan, tindakan dan perilaku yang mereka dengar, nama tuhan disebut orang lain dalam keluarganya. Kata Tuhan yang mulanya mungkin tidak menjadi perhatian lama-lama akan menjadi perhatiannya dan ia akan ikut mengucapkannya setelah ia mendengar kata Tuhan itu berulang kali maka lama-kelamaan akan menimbulkan pertanyaan dalam hatinya siapa tuhan itu?

Dalam hal ini selanjutnya akan berkembang menjadi sesuatu keyakinan, dan keyakinan itu akan dipercaya oleh anak tergantung apa yang diajarkan oleh keluarga, terutama oleh orang tua sendiri. Keyakinan itu bertambah dan selaras dengan pendidikan yang diterima sampai si anak memasuki usia sekolah guru akan meneruskan menanamkan akidah pada anak tersebut.

Makin besar si anak makin bertambah fungsi moral dan sosial bagi anak, ia mulai dapat menerima bahwa nilai-nilai agama lebih penting daripada nilai atau nilai-nilai keluarga. Si anak mulai mengerti bahwa agama bukan kepercayaan masyarakat.

Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa pertumbuhan agama pada anak telah mulai sejak anak lahir, yang kemudian dipupuk dengan pendidikan yang ada di keluarga, dimana jiwa agamanya sudah tumbuh dalam keluarga akan bertambah subur jika gurunya mempunyai sifat positif terhadap agama, dan sebaliknya akan lemah jika gurunya mempunyai sifat negatif tehadap agama.
Sekolah adalah lembaga formal yang melakukan bimbingan dan binaan pada anak didik terkait dengan pengembangan keberagamaan dirinya. Oleh karena itu perlu adanya suatu upaya penciptaan suasana religius yang di kembangkan pada lembaga sekolah melalui:

a. Model Struktural
Yaitu penciptaan suasana religius yang disemangati oleh adanya peraturan-peraturan, pembangunan kesan, bak dunia luar atas kepemimpinan atau kebijakan dari suatu lembaga pendidikan atau suatu organisasi. Model ini biasanya bersifat “top down” yakni kegiatan keagamaan yang dibuat atas prakarsa atau instruksi dari atasan.

b. Model Formal
Yaitu penciptaan suasana religius yang didasari atas pemahaman bahwa pendidikan agama adalah upaya manusia untuk mengajarkan masalah-masalah kehidupan akhirat saja atau kehidupan rohani saja. Model penciptaan suasa religius formal tersebut berimplikasi terhadap pengembangan pendidikan agama yang lebih berorientasi pada ke akheratan. Model ini biasanya menggunakan pendekatan yang bersifat normatif, doktriner, dan absolut.

c. Model mekanik
Model mekanik dalam penciptaan suasana religius adalah penciptaan suasana yang didasari oleh pengalaman bahwa kehidupan terdiri atas berbagai aspek dan pendidikan dipandang sebagai
penamaan dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya.

d. Model Organik
Yaitu penciptaan suasana religius yang disemangati oleh adanya pandangan bahwa pendidikan agama adalah kesatuan dari berbagai sistem yang berusaha mengembangkan pandangan atau semangat hidup agamis, yang dimanifestasikan dalam sikap hidup yang religius.