Advertisement
Jejak Pendidikan- Strategi pengembangan karakter bukan saja
ditunjukan pada murid. Akan tetapi, guru juga memerlukan pengembangan karakter,
karena ia sangat perlu memahami hakikat dan pentingnya karakter serta strategi
mengembangkannya. Madrasah menerima guru yang memiliki kompetensi dan
kepribadian yang beragam, oleh karena itu kepala sekolah harus secara rutin
dalam setiap semester misalnya memberikan pendidikan kepada para guru.
Pelatihan memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap efektifitas sebuah
sekolah. Pelatihan memberi kesempatan kepada guru untuk mendapatkan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap baru yang mengubah perilakunya, yang pada
akhirnya akan meningkatkan prestasi belajar siswa.
Pelatihan ini tidak dilaksanakan kecuali
guru bisa mengembangkan karakternya secara mandiri (self learning)
melalui penghayatan makna-makna (bukan sekedar melaksanakan kewajiban)
ibadah-ibadah yang biasa dilakukannya selain sebagai pengembangan karakter
melalui teladan, pada saat yang sama guru harus menjadi pembelajarn untuk
pengembangan karakter pribadinya.
Sebagaimana diketahui bahwa tujuan akhir
pendidikan Islam yaitu terwujudnya kepribadian muslim. Sedangkan kepribadian
muslim di sini adalah kepribadian yang seluruh aspek-aspeknya merealisasikan
atau mencerminkan ajaran Islam. Untuk mewujudkan kepribadian muslim yang sesuai
dengan ajaran Islam tidaklah mudah.
Oleh karena itu, untuk seorang guru
menjadi pribadi yang baik membutuhkan penguasaan kompetensi kepribadian sebagai
perantara. Penguasaan kompetensi guru dapat dicapai dengan beberapa strategi.
Pada pembahasan ini dan kitab at-tibyan fi adabi hamalah al-qur’an, An-Nawawi
mengungkapkan beberapa pribadi yang harus dimiliki guru. Beberapa ungkapan yang
di paparkan oleh An-Nawawi didalamnya terdapat makna tersirat mengenai strategi
pencapaian kompetensi kepribadian:
a. Berniat Mengharap Ridha Allah
Menggantungkan niat kepada Allah
merupakan langkah awal untuk mencapai suatu kepribadian guru yang diharapkan.
Semua amalan dan perbuatan yang dilakukan berawal dari niat yang telah
ditetapkan dalam diri seseorang. Sebagaimana hadits yang pertama ditulis oleh
An-Nawawi dalam kitab Arbain Nawawi yang berbunyi:
Sesungguhnya amalan itu bergantung pada niat dan sesungguhnya seseorang akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya.”
Sesungguhnya jika kita membicarakan
profesionalisme maka semua itu hanya akan kembali kepada apa yang menjadi niat
atau motivasi seseorang menjadi guru. Dengan membenarkan niat dalam diri dapat
menjadikan acuan atau cara agar tercapainya kompetensi kepribadian.
Bahkan dengan niat dan motivasi yang
benar maka seseorang tidak membutuhkan pengawasan dalam mengajar, karena ia
mengajar bukan untuk mencari pujian orang lain. Ada sebuah tujuan luhur di
balik itu semua yang membuatnya bersungguh-sungguh meski tiada satu pun orang.
Bersamaan dengan itu untuk mengharapkan
ridho Allah dengan membangun dan menanamkan prinsip mengikhlaskan ilmu dan amal
untuk Allah. Dalam kitab At-tibyan fi adabi hamalah al-Qur’an dikutip
dari sebah hadits yang diriwayatkan dari Ustadz Abdul Qasim Al-Qusyairi tentang
ikhlas, yaitu sebagai berikut:
الإخلاص إفراد الحق في الطاعة بالقصد, وهو أن يريد بطاعته التقرب الى الله تعالى دون ش ئ آخر من تصنع لمخلوق, اواكتساب محمد عند الناس, أو محبة مدح من الخلق, اومعنى من المعانى
سوى التقرب إلى الله تعالى.
Ikhlas ialah meniatkan ketaatannya hanya untuk Allah semata, maksudnya dengan ketaatannya tersebut ia hanya bertujuan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala bukan karena mengharap hal lain dari respon makhluk, mengharap pujian orang, menyukai pujian dari manusia, atau semacamnya selain untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala
Ketika seorang guru dihadapkan dengan
murid yang susah diatur atau susah menerima ilmu yang disampaikan, jika tidak
memiliki sifat ikhlas maka ia tidak akan merasa kecewa atupun marah. Akan
tetapi jika memiliki sikap ikhlas akan membentuk pribadi seorang guru tersebut
ketika menyampaikan materi, dan bagi siswa yang menerima materi tersebut akan
menerima manfaatnya.
Pada sebuah hadits Abu Dzar datang kepada
Nabi Saw, bahwa beliau ditanya tentang laki-laki yang melakukan sebuah amalan
ikhlas untuk Allah berupa kebaikan, yang lantaran itu ia dipuji manusia, beliau
bersabda:
Itu adalah berita gembira orang beriman yang disegerakan
Poros dari itu semua terletak pada niat,
dan niat tempatnya adalah di dada, dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi
bagi Allah, berikut firmannya:
Katakanlah. Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu menampakkannya pasti Allah mengetahuinya”. (QS. Ali-Imran : 29)
Maka bagi siapa saja yang niatnya murni
untuk Allah, hendaklah berbahagia dengan pengabulan amalnya dan ganjaran pahala
dari Allah.
b. Tidak Mengharap Hasil Duniawi
Hal ini An-Nawawi bukan hanya menuliskan
di dalam kitabnya, akan tetapi An-Nawawi sendiri telah menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan sifat zuhudnya kepada dunia, beliau mengamalkan
ilmunya tanpa memperdulikan kenikmatan dunia berupa harta atau semacamnya.
Kompetensi kepribadian dan mencapainya dengan melihat bahwa pribadi guru
tersebut benar-benar mengajar dengan meniatkan untuk mengamalkannya bukan
semata-mata mengharapkan sesuatu yang lain.
Jika melihat zaman sekarang ini,
pemerintah sendiri sudah memberi tunjangan kepada guru, akan tetapi kualifikasi
yang dimiliki guru tidak memenuhi kriteria. Hal ini yang perlu diperhatikan
kembali bagi seorang guru, dengan tidak sepenuhnya hanya mementingkan honor dan
mengesampingkan kinerja mengajar. Mengingat kembali niat awal ketika mengajar
hanya diniatkan kepada Allah Swt dan tidak bergantung dengan mengharapkan hasil
dunia.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a , ia
berkata: Rasulullah bersabda:
Barang siapa yang mempelajari ilmu yang seharusnya diniatkan mengharap melihat wajah Allah Ta’ala, akan tetapi ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan salah satu kenikmatan dunia maka ia tidak akan mencium semerbak wangi surga pada hari kiamat.
Siapapun yang tujuannya adalah pujian
maka ia akan kecewa dan capai. Demikian pula yang menjadikan harta dan pangkat
tujuan. Tujuan seperti ini akan menciptakan kelelahan, kekecewaan dan terluka
hatinya manakala tidak medapatkan satu orang pun mengajui prestasinya.
Melalui strategi ini, seorang guru dapat
memantabkan niat dan tujuannya dengan baik tanpa mengharap apapun berupa
duniawi mapun pujian. Jika seorang pendidik memiliki sikap seperti ini, maka ia
akan mencapai kompetensi kepribadian guru sesuai yang ditetapkan oleh
Undang-Undang.
c. Waspadai Sifat Sombong
Guru hendaknya waspada dari sifat
sombong, karena melihat murid yang belajar kepadanya dan silih berganti datang
menemuinya. Banyaknya murid yang berguru kepadanya, membuat guru tersebut
sedikit sombong dan membanggakan diri karena merasa pintar atau semacamnya.
Jika terjadi, hal ini sudah merusak kepribadian seorang guru.
Ujian seperti ini biasa menimpa para
guru, dan dapat menunjukan bukti jelas keadaan niat dan batinnya yang buruk.
Ketika muridnya belajar kepada guru lain, maka waspadai juga timbulnya rasa
tidak senang. Jika meniatkan lillahi ta’ala tak akan muncul rasa tidak suka,
sebaliknya, ia akan katakan pada diri sendiri:
أنا
أردت الطاعة بتعليمه وقد حصلت, وهي قصد بقراءته على غيريزيادة علم,
فلا غلبت عليه
Aku menginginkan nilai ketaatan dengan mengajarkannya, dan aku telah melaksanakannya. Saat ini ia belajar pada orang lain untuk menambah ilmunya, dan itu tidak salah.
Menghindari sifat sombong dan rasa tidak
suka jika muridnya berguru kepada orang lain termasuk salah satu pencapaian
pribadi seorang guru. Dengan memiliki pribadi ini seorang murid akan bersikap
ta’dim atau mengagungkan guru tersebut.
Guru yang dicintai oleh anak didiknya
adalah seorang yang tidak angkuh atau sombong. Dengan demikian, jangan pernah
memandang sepele sikap angkuh atau sombong yang menghinggapi seorang guru.
Dalam hal ini, seorang guru harus memiliki sifat rendah hati.
d. Menghiasi Diri Dari Akhlak Terpuji
Tidak diragukan lagi bahwa kata yang baik
dan tutur bahasa yang bagus mampu memberikan pengaruh di jiwa, mendamaikan hati
serta menghilangkan dengki dan dendam dari dada. Demikian juga raut wajah yang
tampak dari sorang pengajar, ia mampu menciptakan umpan balik positif atau
negatif pada siswa, karena wajah yang riang dan berseri merupakan sesuatu yang
disenangi dan disukai jiwa.
Menghiasi dengan akhlak terpuji bukan
hanya dari tutur kata, akan tetapi dengan perbuatan seperti menampakan kegembiraan
tanpa melampaui batas kesopanan, kebijaksanaan, kesabaran, besar hati terhadap
rendahnya pendapatan dengan membiasakan wara’, khusuk, tenang, rendah hati,
serta tunduk.
Strategi ini merupakan strategi yang
paling unggul dan paling jitu dibandingkan metode-metode lainnya. Melalui
strategi ini para orangtua atau pendidik memberi contoh atau teladan terhadap
anak atau peserta didik. Dalam hal berbicara, berbuat, bersikap, mengerjakan
sesuatu atau cara beribadah, dan sebagainya.
Dengan menghiasi diri dengan akhlak
terpuji merupakan upaya untuk membentuk pribadi yang baik dan meningkatkan
kompetensi kepribadian guru melalui metode keteladanan. Melalui metode ini maka
anak atau peserta didik dapat melihat, menyaksikan dan meyakini cara yang
sebenarnya sehingga mereka dapat melaksanakannya dengan lebih baik dan lebih
mudah. Strategi keteladanan ini sesuai dengan Sabda Rasulullah:
Mulailah dari diri sendiri
Maksud dari hadits ini adalah dengan
kebaikan dan kebenaran, apabila kita menghendaki orang lain juga
mengerjakannya, maka mulailah dari diri sendiri untuk mengerjakannya.
Rujukan:
- Akhmad Muhaimin Azzet, Menjadi Guru Favorit, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011).
- Bagus Herdananto, Menjadi Guru Bermoral Profesional, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009).
- HR. Muslim (juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad Al-Anshar dan Ibnu Majah dalam Az-Zuhd).
- Fu’ad bin Abdul Aziz Asy-Syalhub, Begini Seharusnya Menjadi Guru, (Jakarta: Darul Haq, 2009)
- Bagus Herdananto, Menjadi Guru Bermoral Profesional, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009).
- Heri Jauhari Mukhtar, Fikih Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005).