Jejak Pendidikan- Beliau adalah seorang imam yang hafidz,
ahli fikih, ahli hadits, pembela sunnah, penentang bid’ah, dan penghidup agama.
Nama lengkanya Abu Zakariya bin Syaraf bin Mari bin Hasan bin Husain bin
Muhammad bin Jum’ah bin Hizam al-Nawawi al-Dimasyqy.
Beliau terlahir di tengah-tengah keluarga
yang shalih, ayahnya bernama Syaraf. Ia adalah seorang syaikh yang zuhud dan
wara’, sejak an-Nawawi kecil sudah dibiasakan untuk menuntut ilmu. Pada
usianya yang ke-10, sang ayah memasukan An-Nawawi ke madrasah untuk menghafal
Al-Qur’an dan mempelajari ilmu fiqih kepada beberapa ulama disana.
Beliau mendapat gelar Muhyiddin, akan
tetapi An-Nawawi tidak menyukai julukan tersebut. Ketidaksukaan itu
disebabkan karena rasa tawadu’ yang tumbuh pada diri An-Nawawi, meskipun
sebenarnya beliau pantas diberi julukan tersebut karena dengan dia menghidupkan
sunnah, mematikan bid’ah, menyuruh melakukan perbuatan yang ma’ruf, mencegah
perbuatan mungkar dan memberikan manfaat kepada umat Islam dengan
karya-karyanya.
Allah-lah yang sebenarnya memperlihatkan
julukan-julukan sehingga diketahui posisi An-Nawawi dengan disebutkannya
julukan tersebut, dalam sebuah hadits disebutkan.
Apabila seorang tawadu’ kepada Allah,
maka Allah akan mengangkat derajatnya.
Beliau dilahirkan di desa Nawa, wilayah
Hauron sebelah selatan kota Damsyik, pada bulan Muharram Tahun 631 H. Dahulu
kakeknya yang tertua Hizam singgah di Golan, daerah Nawa, lalu tinggal disana
dan Allah memberikan keturunan yang banyak jumlahnya, diantara mereka adalah
Imam ini.
Sebagian orang terkemuka di negerinya
melihatnya ketika Beliau masih kecil, dan berfirasat bahwa beliau mempunyai
kepandaian dan kecerdasan. Ayahnya sangat memperhatikannya dalam pendidikan.
Maka ia memotivasi an-Nawawi untuk menghafalkan al-Qur’an dengan dididik
beberapa guru besar yang terkemuka di daerahnya. Ia sangat giat dan tekun
membaca dan menghafalkan al-Qur’an.
Sejak kecil beliau tidak suka
bermain-main dengan teman sebayanya. Sehingga pada suatu ketika salah seorang
dari gurunya melihat anak-anak sebayanya memaksa an-Nawawi kecil untuk
bermain bersama mereka. Namun an-Nawawi lari dari mereka sambil menangis
karena paksaan teman-temannya. Dalam keadaan yang seperti itu ia tetap terus
membaca al-Qur’an hingga menghafalnya di saat mendekati usia baligh.
Mengenai sifat-sifatnya, Adz-Dzahabi
mengatakan, “Imam An-Nawawi berkulit sawo matang, berjenggot tebal,
berperawakan tegak, berwibawa, jarang tertawa, tidak bermain-main, dan terus
bersungguh- sungguh dalam hidupnya”. Beliau pun termasuk orang yang senantiasa
beribadah di siang hari dan di malam hari. Berikut adalah sifat dan akhlak
beliau yang mulia:
1) Zuhud
An-Nawawi tidak terlena dengan
kenikmatan dunia, sikap ini dapat terlihat dari sikap beliau yang menolak untuk
diberi gaji, karena bagi beliau puncak kenikmatan adalah melalui ilmu yang
dipelajarinya. Beliau menulis dalam muadimah Syarh Al-Muhadzdzab dan ini adalah
pesan emas bagi para penuntut ilmu,
Ketahuilah, apa-apa yang kami sebutkan terkait dengan keutamaan menimba ilmu, sesungguhnya itu semua hanya diperuntukan bagi orang yang mempelajarinya karena menginginkan Allah Ikhlas, bukan karena motivasi duniawi. Barangsiapa yang belajar karena dorongan dunia seperti; harta, kepemimpinan, jabatan, kedudukan, popularitas, atau supaya orang-orang cenderung kepadanya, atau untuk mengalahkan lawan debat dan tujuan semacamnya maka hal itu adalah tercela.
Selain itu yang menarik perhatian adalah
bahwa beliau pindah dari sebuah perkampunan menuju kota Damaskus yang penuh
dengan kesenangan dan kenikmatan, sedangkan ketika itu usia beliau masih sangat
muda dan dalam kondisi fisik yang masih kuat. Meskipun demikian, beliau tidak
pernah berpaling untuk memperhatikan semua kesenangan dan syahwat tersebut.
Beliau justru membenamkan diri dalam kesungguhan dan kehidupan yang sederhana.
An-Nawawi rela dengan makanan,
minuman dan pakaian yang sedikit. Ia biasanya memakan roti Al-Ka’k dan buah
zaitun hauran yang dikirim ayahnya. Ini disebabkan karena tidak mempunyai
banyak waktu untuk memasak atau makan, oleh karena itu makanan itu yang biasa
di makan. Bahkan, ia rela memakai pakaian yang ditambal dan menempati asrama
yang disediakan untuk para siswa dan kamarnya dipenuhi dengan kitab-kitab.
2) Wara
Dalam kehidupannya banyak yang
menggambarkan kewaraannya, dan diantaranya yaitu beliau tidak mau memakan
sayuran yang berasal dari Damaskus. Ketika ditanya tentang hal itu, beliau
menjawab, “ Karena disana banyak tanah wakaf dan kepemilikan yang dikelola oleh
orang yag seharusnya dilarang melakukan pengelolaan.” Sedangkan untuk kasus
itu, tanah tersebut tidak boleh dikelola kecuali untuk maslahat umum, dan kerja
sama yang ada haruslah dalam bentuk kontrak kerja sama dengan sistem masaqat.
Dalam hal ini banyak ulama yang berbeda pendapat dan karena sifat wara’nya,
beliau tidak mau makan sayur tersebut.
Contoh lainnya, ketika mengajar di Dar
al-Hadits beliau sebenarnya menerima gaji yang cukup besar, tetapi tidak
sepeser pun diambilnya. Beliau justru mengumpulkannya dan menitipkannya pada
kepala Madrasah. Setiap mendapakan jatah tahunannya, beliau membeli sebidang
tanah kemudian mewakafkannya kepada Dar al-Hadits atau membeli beberapa buku
kemudian mewakafkannya keperpustakaan Madrasah.
3) Seorang alim penasihat
Dalam diri An-Nawawi tercermin
sifat-sifat alim, suka memberi nasihat, seorang yang berjihad di jalan Allah
dengan lisannya, menegakan kewajiban beramar ma’ruf nahi munkar. Seorang yang
mempunyau bayan dan hujjah untuk memperkuat dakwaannya.
Beliau dijadikan rujukan oleh manusia
bila mereka menghadapi perkara yang sulit dan pelik, serta minta fatwa
kepadanya. Beliau menanggapinya serta berusaha memecahkan permasalahannya,
seperti ketika berkenaan dengan hukum penyitaan atas dua taman di Syam, ketika
Damaskus kedatangan penguasa dari Mesir, dari Raja Bibiris, setelah mereka
dapat mengusir pasukan Tartar, maka wakil baitul maal menyangka bahwa
kebanyakan dari taman-taman yang berasa di Syam tersebut adalah milik negara.
Maka, sang raja memerintahkan untuk memagarinya yakni menyita.
Dipenghujung usianya, An-Nawawi
pulang ke negerinya Nawa dan berziarah ke al-Quds dan al-khalil. Untuk
berziarah ke makam orang tuanya. Setelah itu meneruskan perjalanan ke Nawa,
beliau jatuh sakit dan menderita sakit yang cukup parah, beliau menghembuskan
nafas terakhir pada malam Rabu tanggal 24 Rajab Tahun 676 H.
Ketika kabar wafatnya beliau tersiar
sampai Damaskus, seolah seantero Damaskus dan sekitarnya menangisi kepergian
beliau. Kaum muslimin benar-benar merasa kehilangan sosok Imam An-Nawawi.
An- Nawawi mengambil bagian di dunia
hanya sedikit saja, bahkan ia tidak memperoleh dunia dan dunia tidak
memperolehnya. Seluruh hidupnya digunakan untuk ilmu, ibadah, mengarang, dan
berzuhud. Sebagaimana dunia yang diambilnya hanya sedikit, umurnya di dunia
juga hanya sedikit. Ia tidak berumur panjang, tidak membangun rumah bertingkat
dan tidak menempati istana. Ia hidup dalam kesederhanaan dan kesucian di
tengah-tengah kitab-kitab dan dalam madrasah ilmu. Ia memberikan faedah dan
mengambil faedah sampai ajal menjemputnya.
Beliau hidup dengan menbujang tidak
beristri di tengah-tengah suasana masyarakat Damsyik dan telah berjaya
menyumbangkan tenaga fikiran dan ilmunya kepada agama Islam. Imam Nawawi
meninggal dunia dalam usia 45 tahun dan dimakamkan di tempat kelahirannya,
yaitu Nawa. Wafatnya sang Imam menimbulkan kesedihan yang dalam bagi penduduk
di negerinya.
Rujukan:
Al-Nawawi, Adab dan Tata Cara
Menjaga al-Qur’an, Penerjemah: Zaid Husain al-Hamid, Jakarta: Pustaka
Amani,2001.