Advertisement
Jejak Pendidikan- dalam mendefinisikan
akal Para ahli mengartikan akal dengan 3 makna. Makna pertama, akal bermakna
akal itu sendiri, tanpa ada makan lain. Makna kedua dan ketiga, akal diartikan
sebagai kata benda (isim) yang bisa digunakan oleh orang Arab. Dari kata
benda itu muncul penggunaan kata akal dalam bentuk kata kerja (fi’il). Dalam
Al-Qur'an, Allah SWT juga menggunakan kedua makna tersebut.
Para ahlipun menamakan dua makna tersebut
sebagai akal. Makna dan hakikat akal tidak lain adalah naluri yang
dianugerahkan Allah SWT kepada mayoritas makhluk-Nya (manusia). Para hamba
tidak bisa mengetahui naluri mereka satu sama lain. Mereka bahkan juga tidak
dapat mengetahui nalurinya sendiri, baik dengan cara melihat maupun merasakan.
Namun, Allah SWT mengenal mereka dengan
perantara akal. Karena akal itulah, mereka mengenal Allah SWT. Mereka dapat
menyaksikan Allah SWT dengan akal. Mereka juga mengenal diri mereka dengan
akal. Lantaran akal pula mereka dapat mengetahui sesuatu yang bermanfaat dan membahayakan
dirinya.[1]
Mengenai akal, sesungguhnya tidak jelas
sejak kapan menjadi kosa kata bahasa Indonesia. Yang jelas ia diambil dari
bahasa Arab Al-‘aql atau ’aqala. kata ‘aql sendiri sudah
digunakan oleh orang Arab sebelum datangnya agama.[2]
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
mengartikan akal dengan 4 pengertian:
- daya pikir (untuk mengerti), pikiran, ingatan,
- jalan atau cara melakukan sesuatu, daya upaya, ikhtiar,
- tipu daya muslihat, kecerdikan, kelicikan dan
- kemampuan melihat atau cara-cara memahami lingkungan.[3]
Kamus bahasa Arab, mengartikan akal
(secara harfiah) sebagai pengertian al-imsak (menahan), al-ribath (ikatan), al-hijr (menahan), al-nahy (melarang dan al-man’u
(mencegah).[4] Ibn Manzhur, misalnya mengartikan al’aql dengan 6 macam,
- akal pikiran, inteligensi
- menahan,
- mencegah,
- membedakan,
- lambang pengikat dan,
- ganti rugi.
Akal juga sering dinamakan dengan al-hijr (menahan atau mengikat). Sehingga
seorang yang berakal adalah orang yang dapat menahan diri dan mengekang hawa
nafsunya. Kata-kata Hamka seorang ulama-sastrawan Indonesia mewakili pengertian
itu. Mengikat binatang dengan tali, mengikat manusia dengan akalnya.
[2] Taufik Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ:
Menyingkap Rahasia Kecerdasan Berdasarkan Al- Qur'an dan Neurosains Mutakhir, (Bandung:
Mizan 2008), Cet. I, h. 257.
[3] Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Cet. 3, Ed. 3, h. 18.
[4] Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughat wa
Al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriqi, 2007), h. 520