karakter siswa saat berdiskusi |
Baca juga (pengertian Pendidikan)
Seimbang Imtak-Iptek
Leterlek membaca amanat UUD tersebut kita bisa langsung menangkap betapa mulianya tujuan pendidikan kita dan betapa dalam penghayatan para pembentuk UUD. Ia tidak semata menonjolkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi an-sich, tapi menggabungkan dengan proses pembentukan karakter di mana secara eksplisit karakter yang dirujuk adalah karakter sebagai insan beragama: beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Eksplisit pula ditegaskan bahwa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak keluar dari bingkai nilai-nilai agama (dan persatuan bangsa).
Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap 2 Mei penting untuk mengingatkan kita akan tujuan pendidikan nasional tersebut, betapa pun ia masih jauh dalam praktik pendidikan kita. Tujuan tersebut tidak bisa dilepaskan dari karakter bangsa Indonesia yang religius dan berkemajuan. Karena itu, pendidikan didesain untuk memadukan penguasaan iman dan takwa (imtak) dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Istilah imtak dan iptek sendiri seingat penulis dipopulerkan awal 1990-an oleh Profesor BJ Habibie, presiden ketiga kita, yang memang sangat fokus terhadap kemajuan pendidikan yang menyeimbangkan antara agama dan iptek.
Jika imtak merupakan karakter yang diharapkan tumbuh dari proses pendidikan sebagai fondasi manusia Indonesia agar beradab, berakhlak, dan bermartabat. Sementara iptek penting dikuasai untuk merespons tantangan globalisasi dan kemajuan dunia yang begitu cepat. Negara-negara besar dengan ekonomi maju ditopang oleh masyarakat yang menguasai iptek (knowledge based society) serta ekonomi yang berbasis iptek (knowledge based economy).
Berkenaan dengan hal ini, seorang ekonom kenamaan dunia, Jeffery Sachs (2005), telah lama mengingatkan kita. Dalam bukunya, A New Map of the World, Sachs membagi dunia berdasarkan kategori penguasaan sains dan teknologi. Pertama, sekitar 15% penduduk dunia tergolong technologically innovators. Termasuk dalam kelompok ini adalah Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan. Dengan kekuatan sains dan teknologi yang dimiliki, negara-negara yang masuk dalam kelompok ini menjadi penentu tatanan dunia baru atau the shapers dalam istilah Thomas L Friedman.
Kedua, kurang lebih 50% penduduk dunia tergolong technologically adopters. Negara yang masuk kategori ini pada umumnya adalah negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Dalam tatanan dunia baru, kelompok ini lebih banyak menyesuaikan diri (mengadopsi) dengan kebijakan/keputusan negara-negara innovators. Kategori terakhir (ketiga), sekitar 30% penduduk dunia tergolong dalam technologically excluded yaitu negara-negara miskin dan terbelakang yang belum tersentuh oleh kemajuan sains dan teknologi maju. Negara-negara ini tidak mampu mengadopsi teknologi maju, terlilit utang, dan tidak mampu melunasinya.
Perbedaan penguasaan sains dan teknologi tersebut menyebabkan jurang kesenjangan semakin lebar antara negara-negara kaya (the have) dan negara-negara miskin (the have not). Jelas negara maju dengan ekonomi yang terus tumbuh secara eksponensial adalah negara yang kaya inovasi iptek, bukan negara adopter, apalagi hanya sebagai konsumer yang tergantung pada teknologi negara lain. Nilai tambah yang dihasilkan iptek menghasilkan lompatan luar biasa income (pendapatan) bagi suatu negara. Maka itu, berlaku adagium jika ingin maju kuasailah iptek.
Desain Sistem Pendidikan
Manusia merupakan subjek sekaligus motor pembangunan sehingga kualitas sumber daya manusia (SDM) menentukan hasil pembangunan. Tentu saja untuk memperoleh SDM yang berkualitas, pendidikan memiliki peranan penting dalam mempersiapkannya. Pendidikan harus mampu melahirkan generasi yang memiliki kualitas karakter dan kompetensi yang relevan dengan perkembangan zaman, khususnya dalam memasuki persaingan global yang menekankan penguasaan sains dan teknologi mutakhir (modern). Pendidikan di sini secara tegas kita katakan sebagai investasi SDM (human investment).
Pendidikan adalah hasil dari sebuah sistem di mana negara dan pemerintah bertanggung jawab untuk mendesain satu sistem pendidikan yang berkualitas secara berkesinambungan. Desain yang bisa memberi arah bagi kemajuan bangsa sehingga dapat berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain secara global.
Dari sistem tersebut diharapkan lahir siswa didik yang kuat dalam kepribadian dan karakter, cerdas, bertanggung jawab, mandiri, dan memiliki kompetensi iptek yang unggul. Pun negara dituntut untuk memberdayakan hasil pendidikan unggul tersebut untuk menopang kemajuan bangsa. Dengan demikian, tidak boleh ada potensi sumber daya manusia unggul bangsa ini yang tersia-siakan, keluar negara (brain drain), atau bahkan malah dibajak oleh negara lain karena ketidakmampuan pemerintah dalam memberdayakan mereka.
Tanggung Jawab Bersama
Kita semua sebagai warga bangsa mempunyai tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang berkarakter dan berkemajuan untuk generasi kita. Jangan merusaknya dengan sikap, perkataan, kebiasaan, maupun tontonan yang tidak mendidik yang menyimpangi tujuan pendidikan nasional di atas. Karena itu, dengan tegas kita harus bersikap: “stop!” terhadap seluruh anasir yang merusak pendidikan bangsa mulai dari pornografi, pergaulan bebas, narkoba, kekerasan/radikalisme, kemalasan, budaya liberal tanpa batas, dan sebagainya.
Sebaliknya, mari tumbuhkan budaya taat beragama, budaya baca, inovasi, budaya ilmiah, berintegritas, bertanggung jawab, mandiri, pantang menyerah, dan sebagainya. Inilah cara kita memaknai Hari Pendidikan Nasional agar bangsa ini menjadi bangsa besar: berkarakter dan berkemajuan.
Sindo, Jazuli Juwaini Ketua Fraksi PKS DPR RI