BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Tunisia merupakan negara berbentuk republik yang
dipimpin oleh seorang Presiden. Negara yang beribukotakan Tunis ini menjadikan
Islam sebagai agama resmi negara. Mayoritas masyarakatnya (sekitar 98 %) adalah
muslim Sunni, negara yang terletak di Afrika Utara, sebelah barat
berbatasan dengan Mediterania dan selatan Libya. Tunisia termasuk kepulauan
Karkunna untuk daerah timur, sementara di bagian tenggara termasuk kepulauan
Djerba.
Negara yang memiliki luas wilayah
163.610 km2 memperoleh
kemerdekaan pada tahun 1956, dengan presiden pertama Habib Bourguiba, yang
membawahi 23 Provinsi. Sebelumnya Tunisia merupakan wilayah otonom dari
pemerintahan Turki Usmani dan pada tahun 1883 menjadi negara persemakmuran
Perancis berdasarkan perjanjian La Marsa.
Gerakan pembaharuan dalam hukum
keluarga didunia Islam terjadi pada abad ke-20, secara garis besar gerakan
pembaharu hukum keluarga di dunia islam termasuk di Negara Mesir pada abad
ke-20 ini dapat dibagi kedalam tiga fase, dan jika undang-undang tentang hukum
keluarga di dunia Islam termasuk di Negara Mesir kita cermati ternyata ada
masalah-masalah pokok mengenai hukum keluarga di Negara islam yang dibahas.
Untuk lebih jelasnya apa dan bagaimana hukum Keluarga di Negara islam terutama
di Mesir oleh karena itu di dalam makalah ini kami akan jelaskan mengenai hukum
keluarga islam di Mesir.
BAB II
PEMBAHASAN
A. HUKUM KELUARGA DI TUNASIA
1.
Pembentukan Hukum
Keluarga di Tunisia
Pada tahun 1956 setelah Tunisia memperoleh kemerdekaannya, melalui
Presiden Habib Bourgubia negara tersebut mengeluarkan aturan-aturan yang
kontroversial yang dikenal dengan “The
Tunisian Code of Personal Status” untuk menggantikan hukum al-Qur’an dalam
bidang perkawinan, perceraian dan hadanah.
Aturan-aturan baru ini tidak hanya menentang beberapa praktek muslim
tradisional bahkan menyatakan konfrontasi dengannya.
Sejarah lahirnya kodifikasi dan reformasi hukum keluarga Tunisia
tersebut berawal dari adanya pemikiran dari sejumlah ahli hukum terkemuka
Tunisia yang berfikir bahwa dengan melakukan fusi terhadap mazhab Hanafi dan
mazhab Maliki, sebuah ketentuan hukum baru mengenai hukum keluarga dapat
dikembangkan sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi sosial
kemasyarakatan Tunisia. Sejumlah ahli hukum Tunisia kemudian mengajukan catatan
perbandingan antara dua system hukum Hanafi dan Maliki yang kemudian
dipublikasikan dengan judul Laihat
Majjalat al-Ahkam alsyar’iyyah (Draft Undang-undang Hukum Islam). Pada
akhirnya pemerintah Tunisia membentuk sebuah komite di bawah pengawasan Syeikh
Islam Muhammad Ja’it untuk merancang undang-undang secara resmi.[1]
Pada tahun 1981 ditetapkan sebuah undang-undang baru yang merupakan
modifikasi dari undang-undang keluarga tahun 1956. Undang-undang tahun 1981 ini
berdasarkan rekomendasi dari komite yang terdiri dari ahli hukum, yaitu
pengacara, hakim, dan pengajar hukum yang diketuai oleh menteri hukum. Proposal
komite ini berdasarkan pada interpretasi bebas terhadap hukum syari’ah yang
berhubungan dengan hak-hak keluarga.[2]
2.
Hukum Pernikahan dan
Perceraian
a.
Usia pernikahan
Laki-laki dan perempuan di Tunisia dapat melakukan pernikahan jika telah
berusia 20 tahun. Hal ini merupakan ketentuan yang merubah isi pasal 5
Undang-Undang 1956, sebelum dirubah, ketentuan usia nikah adalah 17 tahun bagi
perempuan dan 20 tahun bagi laki-laki. Dengan ketentuan bahwa baik laki-laki
maupun perempuan harus berusia 20 tahun untuk boleh melangsungkan perkawinan,
bagi wanita yang berusia 17 harus mendapat izin dari walinya.
Jika wali tidak memberikan izin, perkara tersebut dapat diputuskan di
pengadilan. Pada tahun 1981, ketentuan pasal ini berubah menjadi Usia minimum pernikahan
adalah 20 untuk pria dan 17 untuk wanita. Pernikahan di bawah usia ini membutuhkan izin khusus dari pengadilan,
yang dapat diberikan hanya untuk alasan mendesak dan atas dasar dari
kepentingan yang jelas atau manfaat yang akan direalisasikan oleh kedua
pasangan dengan pernikahan. Pernikahan di bawah umur memerlukan persetujuan
dari wali, jika wali menolak memberikan izin padahal kedua belah pihak
berhasrat melakukan pernikahan, perkara tersebut dapat dipurtuskan di
pengadilan. Ketentuan ini merupakan langkah maju jika dilihat dari
ketentuan-ketentuan dalam kitab fiqh mazhab Maliki, sebab di dalam kitab fiqh
Maliki tidak ada batasan mengenai usia penikahan.
b. Poligami
Dalam pasal 18 Undang-Undang hukum keluarga di tunisia menyatakan:
1.
Poligami dilarang, siapa saja yang telah menikah
sebelum perkawinan pertamanya benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan
dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim
atau kedua-duanya.
2. Siapa yang telah
menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3 Tahun 1957 yang
berhubungan dengan aturan sipil dan kontrak pernikahan kedua, sementara
ia masih terikat perkawinan, maka akan dikenakan hukuman yang sama.
3.
Siapa yang dengan sengaja menikahkan seseorang
yang dikenai hukuman, menurut ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga
dikenakan hukuman yang sama.
Undang-Undang di atas secara tegas menetapkan bahwa poligami dilarang. Larangan
ini konon mempunyai landasan hukum pada ayat
Alquran, yang menyatakan bahwa seorang laki-laki wajib menikah dengan
seorang istri jika dia yakin tidak mampu berbuat adil kepada istri-istrinya
yaitu dalam surat an-Nisa ayat 3:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? ’Îû 4‘uK»tGu‹ø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»tâ‘ur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9ω÷ès? ¸oy‰Ïnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #’oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Artinya:Dan jika kamu takut tidak
akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(Q.S. an-Nisa [4] : 3).
Dengan demikian,
idealnya al-Quran adalah monogami, lebih dari itu syarat yang diajukan supaya
suami berlaku adil terhapad istri-istrinya, hal seperti ini adalah suatu
kondisi yang sangat sulit, bahkan tidak mungkin dapat terealilasi sepenuhnya.
c.
Perjanjian perkawinan.
Undang-Undang tunisia 1956 memberi peluang adanya khiyar al-syart
(perjanjian perkawinan). Jika ada isi perjanjian yang terlanggar, pihak yang di
rugikan atas pelanggaran perjanjian tersebut dapat mengajukan tuntutan
pembubaran perkawinan. Perjanjian tersebut tidak bisa melahirkan hak ganti rugi
jika hal tersebut terjadisebelum perkawinan terlaksana secara sempurna.
d.
Pernikahan yang tidak sah
Pernikahan yang dipandang tidak sah menurut Undang-Undang hukum keluarga di
tunisia adalah:
1.
Perkawinan yang bertentangan dengan dasar-dasar
perkawinan (pasal 21)
2. Perkawinan tanpa
persetujuan dari salah satu pihak suami atau istri (pasal 3).
3. Perkawinan yang
dilakukan sebelum usia pubertas atau terdapat halangan hukum yang lain (pasal
5).
4. Perkawinan yang
di dalamnya terdapat alangan untuk melangsungkan perkawinan (pasal 15-17).
5.
Menikah dengan wanita yang masih dalam masa iddah
(pasal 20).
Pernikahan seperti di atas dapat segera dianulir. Akibat hukum yang lahir,
jika perkawinan memang telah berlangsung sempurna (ba’da ad dukhul), adalah bahwa istri berhak atas mahar dan
kewajiban menjalani masa iddah. Sedangkan apabila perceraian terjadi sebelum dukhul, istri berhak terhadap mahar.
Anak yang lahir dapat disandarkan nasabnya kepada suami, akan tetapi tidak
berhubungan dengan harta warisan antara dua pihak tersebut.
e.
Perceraian
Perceraian adalah hal yang ketat dalam hukum di
tunisia, perceraian yang di jatuhkan secara sepihak tidak tidak berdampak
jatuhnya talak, perceraian yang sah dan efektif hanya diputuskan di pengadilan.
Pengadilan dapat memberikan perceraian
berdasarkan:
1) kesepakatan dari pasangan
2) petisi dari salah satu pasangan dengan alasan cedera yang disebabkan
oleh yang lain.
Pengadilan juga dapat memutuskan perceraian apabila salah satu pihak
bermaksud bercerai, dengan konsekuensi bahwa pihak yang mengajukan gugatan
perceraian wajib membayar ganti rugi kepada pihak yang lain. Keputusan
perceraian hanya di berikan apabila upaya perdamaian pasangan suami istri
tersebut gagal.
f.
Talak tiga.
Pasal 19 UU 1954 tunisia menyatakan bahwa seorang pria dilarang merujuk
bekas istri yang telah di talak tiga (talak bain
kubro). Sebelumnya, pasal 14 menyebutkan talak tiga menjadi halangan yang
bersifat permanen untuk pernikahan.
g.
Nafkah bagi isteri.
Undang-undang hukum keluarga tunisia menerapkan prinsip-prinsip mazhab
maliki dalam hal hak istri untuk mendapatkan nafkah dari suaminya. Hal ini secara
rinci di atur dalam pasal 37-42. Lebih jauh, pasal 41 menyatakan bahwa isteri
diizinkan membelanjakan harta pribadinya yang digunakan sebagai biaya hidup
dengan untuk diminta ganti dari suami. Adapun besarnya jumlah nafkah tergantung
kemampuan suami dan status istri, serta biaya hidup yang wajar pada saat itu
(pasal 52).
Fiqih mazhab maliki yang banyak menjadi sumber rumusan undang-undang
tunisia menyatakan bahwa nafkah wajib dibayar suami jika telah terjadi dukhul dan suami telah baliq. Pandangan
ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah dan salah satu pendapat imam Syafi’i
yang tidak mensyaratkan suami harus baliq.
h.
Pemeliharaan anak.
Pasal 54-57 UU 1956 Tunisia secara rinci mengatur hak dan kewajiban orang
tua dan para wali terhadap pemeliharaan anak. Ketentuan tentang pemeliharaan
anak secara umum bersumber dari prinsip-prinsip mazhab maliki, dalam fiqh
mazhab maliki dinyatakan bahwa jika seorang laki-laki mentalaq istrinya,
pemeliharaan anak menjadi hak ibu dengan alasan seorang ibu lebih besar kasih sayangnya
dan memahami kemaslahatan dan kebutuhan anak dari pada ayah atau keluarga yang
lain. Formulasi fiqh juga menyatakan bahwa hak hadanah menjadi terputus apabila
ibu melangsungkan pernikahan, sebab ada prediksi bahwa ibu akan lalai dalam
mengasuh anak, yang mengakibatkan anaktidak dapat hidup dengan tenang dan
sejahtera. Adapun apabila ibu meninggal maka hak asuh anak berpindah ke nenek
dari garis ibu asalkan kakek merupakan kakek secara langsung dari abak
tersebut.
Pada pasal 67 yang telah diamandemen pada tahun 1981, menyatakan bahwa jika
orang tua yang berhak mengasuh anak mkan kedua orangeninggal dunia sedangkan
sebelumnya perkawinan telah bubar, hak hadanah tersebut berpindah kepada orang
tua yang masih hidup. Sedangkan apabila pernikahan bubar sedangkan kedua belak
pihak masih hidup, hak pemeliharaan anak diserahkan kepada salah satu pihak
atau boleh tiga diserahkan kepada pihak ketiga. Selanjutnya, pengadilan dapat
memutuskan batas waktu pemeliharaan anak dengan memperhatikan sepenuhnya kepada
kondisi anak yang bersangkutan (pasal 67). Sedangkn dalam fiqh dinyatakan bahwa
berakhirnya hadanah adalah jika anak laki-laki sudah mencapai usia baliq dan
anak perempuan sudah menikah. Hal ini berbeda dengan pendapat mazhab syafi’i
yang menyatakan bahwa anak perempuan putus atau berakhir masa hadanahnya ketika
ia sudah baliq.
3.
Hukum Waris.
Berkaitan dengan masalah warisan, di Tunisia secara
umum hanya melakukan kodifikasi terhadap ketentuan-ketentuan hukum mazhab
Maliki. Akan tetapi ada beberapa hal terdapat perbedaan ketentuan dengan mazhab
Malik, yaitu dengan mendasarkan pada pendapat-pendapat pakar hukum dari mazhab
lain. Sebagai contoh adalah pasal 88 yang menyatakan bahwa seorang ahli waris
yang dengan sengaja menyebabkan kematian pewaris, baik sebagai pelaku utama
atau hanya pendukung saja, atau mengungkapkan kesaksian palsu terhadap kematian
pewaris, orang tersebut tidak berhak mendapat warisan dari armarhum.
4.
Hukum Wasiat
a.
Perbedaan agama dan kewarganegaraan.
Diantara ketentuan hukum wasiat yang menonjol adalah perihal sahnya wasiat
antara dua pihak yang berbeda agama. Demikian pula dipandang sah wasiat yang
dilakukan para pihak yang berkewarganegaraan berbeda (pasal 174-175). Sedangkan
bukti terjadinya wasiat harus berupa bukti tertulis yang bertanggal dan
ditandatangani pihak yang berwasiat, sehingga bukti oral dipandang tidak cukup
sebagai alat bukti (pasal 176).
b.
Wasiat wajibah.
Ketentuan mengenai wasiat wajibah telah diperkenalkan oleh UU waris Mesir
pada tahun 1946 dengan membuat ketentuan hukum perihal kewajiban adanya wasiat
bagi cucu yang yatim dari pewaris. Hal ini kemudian diikutinoleh Syiria dan
Tunisia. Dalam Undang-Undang Tunisia, ketentuan tentang wasiat wajibah hanya
diperuntukkan bagi cucu yatim dari generasi pertama, baik laki-laki maupun perempuan
(pasal 192), dengan catatan bahwa cucu laki-laki mendapat bagian dua kali lebih
besar dari bagian cucu perempuan.
B.
HUKUM KELUARGA DI MESIR
1. Ketentuan-ketentuan
yang berhubungan dengan hukum perkawinan
1.
Pencatatan
Perkawinan
Usaha untuk
menetapkan pencatatan perkawinan di Mesir di mulai dengan terbitnya Ordonasi
1880 yang berisi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pegawai-pegawai
pencatat nikah dan dasar-dasar pemilihan dan pengangkatan mereka serta
menyerahkan pelaksanaan pencatatan nikah kepada kemauan para pihak yang berakad
dan pertimbangan kepentingan mereka.
Ordonasi
tahun1880 itu diikuti dengan lahirnya ordonasi tahun 1897 yang pasal
31-nya menyatakan bahwa “gugatan perkara nikah atau pengakuan adanya
hubungan perkawiann tidak akan didengar oleh pengadilan setelah
meninggalnya salah satu pihak apabilatidak dibuktikan dengan adanya suatu
dokumen yang bebas dari dugaan pemalsuan”. Tampak bahwa pasal ini
mengandung persyaratan adanya dokumen yang diduga tidak palsu agar dapatdijadikan
dasar keputusan.
2.
Usia Perkawinan
Dalam bidang
perkawinan di Mesir mempunyai undang-undang mengenai batas minimum usia
pernikahan yaitu bagi laki-laki 18 Tahun dan bagi wanita 16 Tahun. Jika
umur mereka yang akan melangsungkan pernikahan kurang dari ketentuan diatas
maka pernikahan tidak boleh dilaksanakan. Hal tersebut sesuai dengan Bab 99 UU
No 78 Tahun 1931.
Ada dua hal
untuk mengetahui umur seseorang agar sesuai dengan ketentuan UU yaitu:
Akte Kelahiran atau berupa surat resmi yang dapat menaksir tanggal kelahiran
seseorang, dan sertifikat kesehatan yang memperlihatkan taksiran tanggal atau
data kelahiran yang diputuskan oleh Menteri Kesehatan atau Pusat Kesehatan
setempat. Jika keduanya atau salah satu pihak calon suami atau istri tidak
memenuhi ketentuan umur perkawinan dalam UU tersebut, maka dilarang untuk
melakukan pendaftaran perkawinan.
3. Mahar
Jika terjadi
sengketa antara pasangan suami istri mengenai jumlah mahar, istri harus dapat
membuktikan gugatannya tersebut. Apabila istri tidak dapat membuktikan, maka
sumpah suami yang dijadikan dasar putusan, kecuali jika suami menyatakan jumlah
yang tidak wajar senilai jumlah mahar mitsli status istrinya tersebut.
Di Mesir
pengantin lelaki harus menyediakan rumah yang mafrusyah (fasilitas isinya
lengkap, sejak kasur, bantal hingga sabun mandi). Tradisi lokal di kota Fayoum,
sekitar 100 km di timur Kairo, seorang mempelai lelaki harus menyediakan uang 3
ribu Pound Mesir (500 Dolar AS), emas murni senilai 2500 Pound dan juga tentu
saja, pendapatan tetap, itu belum termasuk rumah tinggal. Sementara, harga
sebuah rumah yang mafrusyah di kawasan itu bisa mencapai 80 ribu Pound (13 ribu
Dolar AS). Di kota besar seperti Kairo, dalam persoalan
mahar, orang Mesir, konon, tidak macam-macam ; cukup dengan peralatan shalat,
atau kitab suci AlQuran. Biaya hidup bulanan seorang isteri Mesir, nampaknya,
juga sangat tinggi. akibat mahalnya biaya nikah ini, lelaki Mesir banyak yang
lambat nikah.
4. Ketentuan
tentang pemberian nafkah
Suami
berkewajiban memberikan nafkah kepada istri sejak perkawinan disahkan meskipun
istri tersebut kaya atau beda agama. Penyakit istri tidak menghalangi hak istri
untuk mendapatkan nafkah. Nafkah mencakup makanan, pakaian, tempat tinggal,
pengobatan dan lainnya yang diakui oleh hukum. Suami tidak berkewajiban member
nafkah jika istri murtad, atau menolak untuk hidup bersama tanpa alas an, atau
pergi tanpa izin suaminya.[3]
5. Putusnya
perkawinan
Di Mesir sampai
terbitnya Undang-Undang Tahun 1979 tentang beberapa ketentuan hukum
keluarga menghendaki dibatasinya hak talak suami dengan cara
mewajibkannya mencatatkan talak pada waktu dijatuhkan dan memberitahukan kepada
isterinya. Jika tidak, ia dapat dikenai hukuman kurungan selama-lamanya enam
bulan dan denda sebanyak-banyaknya dua ratus pound, dan talak hanya menimbulkan
akibat hukum sejak dari tanggal diketahuinya oleh isteri. Undang-undang itu
juga menetapkan untuk janda yang ditalak setelah dicampuri suatu pemberian
mut`ah yang besarnya sama dengan nafkah selama dua tahun. Di Mesir
Pengucapan Talak Tiga hanya jatuh satu talak. Semua pengaturan ini dilakukan
untuk melindungi hak-hak perempuan.
6.
Penyelesaian
perselisihan
Jika seorang
istri menuduh suaminya telah berbuat kejam dan tidak mungkin melanjutkan
hubungan perkawinannya, istri dapat mengajukan permohonan cerai kepada hakim.
Dan hakim harus memutuskan perceraian keduanya jika tuduhan istri dapat
dibuktikan dan tidak dapat didamaikan. Tetapi jika hakim menolak permohonan
cerai istri, dan kemudian istri mengulangi tuduhannya tetapi tidak dapat
membuktikan tuduhan tersebut, hakim akan menunjuk dua orang sebagai juru
damai.
7. Aturan
Poligami
Mesir
memperbolehkan praktek poligami dengan adanya kesempatan isteri untuk
mengajukan gugat cerai karena poligami tersebut sebagaimana diatur dalam UU No.
100 tahun 1985. Dalam materi UU tersebut ditentukan bahwa poligami dapat
menjadi alasan perceraian bahwa poligami dapat menjadi alasan perceraian bagi
isteri dengan alasan, poligami mengakibatkan kesusahan ekonomi, baik
dicantumkan dalam taklik talak maupun tidak. Bila suami berencana poligami
harus seizin pihak pengadilan dan pengadilan harus memberitahukan kepada
isterinya tentang rencana poligami tersebut. Dalam pasal 11A UU No. 100
tahun 1985 dinyatakan:
“seorang yang akan menikah harus menjelaskan
status perkawinannya pada formulir pencatatan perkawinan. Bagi yang sudah
mempunyai isteri harus mencantumkan nama dan alamat isteri-isterinya. Pegawai
pencatat harus memberitahukan isterinya tentang rencana perkawinan tersebut.
Seorang isteri yang suaminya menikah lagi dengan wanita lain dapat minta cerai
atas dasar kemudaratan ekonomi yang diakibatkan oleh poligami, dan
mengakibatkan tidak mungkin hidup bersama dengan suaminya secara rukun. Hak
cerai dapat berlaku, baik ditetapkan ataupun tidak dalam taklik talak. Jika
hakim tidak berhasil mendamaikan, maka perceraianlah yang terjadi. Hak isteri
hilang dengan sendirinya kalau ia tidak memintanya dalam selama waktu satu
tahun dan dia mengetahui perkawinan dimaksud. Tetapi, hak ini tetap menjadi hak
isteri setiap kali suaminya menikah lagi. Seorang isteri yang dinikahi dan
tidak mengetahui kalau suaminya telah memiliki isteri, berhak minta cerai
segera setelah mengetahuinya.”
Berdasarkan
pasal ini maka ada beberapa ketentuan mengenai poligami:
1.
Adanya
pemberitahuan kepada isteri oleh pencatat nikah tentang pernikahan suaminya,
2.
Isteri dapat
mengajukan gugatan cerai dengan alasan poligami suaminya dalam waktu satu
tahun,
3.
Hak cerai gugat
isteri gugur setelah satu tahun, dan
4.
Jika sebelumnya
isteri tidak mengetahui poligami tersebut maka ia berhak minta cerai setelah
mengetahuinya.
Dengan
demikian, untuk melaksanakan poligami lebih longgar daripada di Negara Islam
lainnya. Walaupun demikian, hukuman terhadap pelanggaran ketentuan poligami
termasuk tindak pidana.
8. Ketentuan mafqud (orang
hilang)
Pengadilan
dapat memutuskan kematian seseorang setelah empat tahun terhitung sejak
hilangnya orang tersebut. Setelah putusnya perkawinan
berdasarkan hilangnya suami, istri menikah dengan orang lain, kemudian mantan
suami kembali, maka perkawinan kedua istri tetap berlaku.
9.
Wasiat Wajibah
Wasiat wajibah mulai pertama diperkenalkan oleh
ulama Mesir yang melalui hukum waris tahun 1946 menyatakan bahwa seorang anak
yang lebih dahulu meninggal dunia dan meninggalkan anak maka si cucu itu
menggantikan ayahnya yang mewarisi kakeknya atau neneknya dengan cara
memperoleh wasiat wajibah tidak lebih dari sepertiga harta. Adapun yang
menetapkan wasiat wajibah itu ialah pengadilan, karena si mati memenag tidak
meninggalkan wasiat sendiri. Ide wasiat wajibah ini diajukan ulama Mesir untuk
menegakkan keadilan dan membantu cucu yatim. Di Mesir aturan wasiat wajibah itu
berlaku bagi semua cucu, baik dari anak laki-laki maupun perempuan.
10. Hak
asuh anak (hadhanah)
Sesuai dengan Bab 20 UU No
100 Tahun 1985 bahwa pengurusan/pengasuhan bagi anak perempuan berlangsung
duabelas tahun sedangkan untuk anak laki-laki selama sepuluh tahun. Dan boleh
bagi hakim untuk menetapkan bagi anak laki-laki masih berada dalam asuhan salah
satu pengasuh hingga berumur lima belas tahun dan bagi anak perempuan hingga ia
menikah. Sedangkan tempat tinggal/rumah anak adalah kewajiban dari sang ayah,
ia berkewajiban untuk menyediakan rumah yang layak bagi anaknya dan
pengasuhnya, jika ia telah besar maka anak tersebut dapat kembali ke rumah ayahnya. Hal ini sesuai dengan Bab
18 UU No 100 Tahun 1985 tentang
hak asuh anak.[4]
11. Khulu’
Khulu` adalah pemberian hak meminta cerai
kepada istri terlepas dari apakah suaminya mengizinkan atau tidak asalkan ia
mengembalikan sebagian atau seluruh hak finansialnya.
Menurut empat mazhab, khulu` dapat diberikan
walaupun tidak ada alasan legal bagi perceraian, yaitu bila perempuan tidak
ingin meneruskan perkawinan. Tetapi di masa modern, khulu` digunakan
ketika isteri disakiti dan dilecehkan serta dipukul suami. Mereka seringkali
harus melepaskan hak finansial sebagai ganti keputusan cerai dari
pengadilan.Dalam UU Mesir dinyatakan bahwa khulu` boleh diberikan kepada
seorang isteri hanya setelah hakim berusaha dan gagal merukunkan pasangan
tersebut serta dengan intervensi mediator dari pihak suami dan Isteri.
12. Perkawinan Beda Kewarganegaraan
Hal kawin campur terdapat dalam Law No. 68
tahun 1947 yang diamandemen oleh Law No. 103 tahun 1976 yang memindahkan pasal
2, 5, 6, 9 dan 12 kepada peraturan baru. Dalam pasal 5 dikatakan bahwa notaris,
sebelum mencatat perkawinan harus memperjelas identitas kedua mempelai. Jika
terdapat perkawinan antara wanita Mesir dengan pria non Mesir, maka Dinas
Perkawinan harus memastikan hal-hal berikut:
1.
Kehadiran
mempelai pria saat akad.
2.
Perbedaan umur
antara keduanya tidak lebih dari 25 tahun.
3.
Pihak pria
harus menyertakan dua buah setifikat dari negara asal atau kedutaannya. Pertama
menyatakan bahwa negara asal tidak melarang pernikahan itu dan kedua
menggambarkan identitasnya meliputi Tempat dan Tanggal Lahir, agama, pekerjaan,
tempat di negara asal, status perkawinan, jumlah isteri dan anak, sirkulasi
keuangan dan sumber penghasilan. Kedua sertifikat itu harus ditandatangani oleh
pihak pemerintahan Mesir.
4.
Kedua mempelai
harus mempunyai Akta Kelahiran atau surat resmi lain yang menunjukkan tanggal
lahir.
Dalam hal ini
maka jelas Hukum Keluarga Mesir menitikberatkan pada legalitas pihak asing
memperbolehkan untuk menikahi warganegaranya, tanpa ada persyaratan yang
memberatkan.
13. Ketentuan
Pidana dalam UU Perkawinan
Ketentuan
Pidana dalam Perkawinan menyangkut pada pelanggaran ketentuan poligami, yakni
suami yang melanggar pasal 11A UU No. 100 tahun 1985 dapat
diberikan sanksi hukuman penjara atau denda, atau bahkan kedua-duanya
sekaligus. Hal ini diatur dalam pasal 23A UU no. 100 tahun 1985, yaitu: seorang
yang menceraikan isterinya, bertentangan dengan aturan yang ada dalam pasal 5A
undang-undang ini, dapat dihukum dengan hukuman penjara maksimal enam bulan
atau denda 200 pound Mesir atau kedua-duanya. Sama juga dengan orang yang
membuat pengakuan palsu. Kepada pegawai pencatat yang lalai atau gagal
melakukan tugasnya dapat dihukum dengan hukuman penjara maksimal satu bulan dan
dengan hukuman denda maksimal 50 pound Mesir. Pegawai yang bersangkutan dapat
dinonaktifkan selama maksimal satu tahun.
2. Ketentuan-ketentuan
yang Berhubungan dengan Kewarisan dan Wasiat
Undang-undang
No. 77 tahun 1943 tentang kewarisan sebagian besar diadopsi dari mazhab Hanafi,
namun dalam beberapa kasus terdapat hukum yang berbeda dari mazhab hanafi.
Berikut ketentuan hukum waris yang berlaku di mesir:
1.
Prioritas biaya
pemakaman.
Biaya pemakaman
merupakan prioritas yang harus dikeluarkan sebelum hutang. Ketentuan ini sesuai
dengan pendapat Hanafi.
2. Pembunuh
pewaris sebagai penghalang mewarisi
Ketentuan hukum
syari’ah, bahwa seorang ahli waris yang membunuh pewaris akan terhalang dari
menerima warisan, sedangkan mengenai jenis membunuh sengaja atau tidak sengaja
yang menghalangi menerima warisan terdapat perbedaan pendapat. Mazhab Hanafi
menetapkan semua jenis membunuh dapat menghalangi ahli waris menerima warisan.
Sedangkan Maliki menetapkan hanya membunuh yang sengaja yang dapat menghalangi
mewarisi. Undang-undang (1943) Mesir mengadopsi pendapat Maliki tersebut. Pasal
5 menyebutkan bahwa “salah satu hambatan ahli waris menerima warisan adalah
ahli waris yang sengaja telah menyebabkan kematian pewaris, baik oleh dirinya
sendiri, atau membantu membunuh, atau sebagai saksi yang kesaksiannya tersebut
pewaris dieksekusi, sedangkan ahli waris dalam keadaan waras dan telah berusia
lima belas (15) tahun.
3. Kasus
Himariya
Saudara-saudari
seibu dalam hukum warisan Islam ditempatkan sebagai ahli waris ashabul furud,
sementara saudara-saudari sekandung (seayah seibu) apabila bersama ahli waris
lain sebagai ahli waris penerima sisa. Dalam kasus-kasus tertentu dengan pola
distribusi, saudara-saudari sekandung tidak menerima warisan sementara
saudara-saudari seibu tidak terpengaruh sama sekali bagiannya karena bagian
saudara-saudari ibu mendapatkan saham tetap dalam Al-Qur’an. Kasus ini dikenal
dengan kasus Himariya. UU No. 77/1943 pasal 10 menetapkan saudara-saudari
sekandung bersama-sama mengambil bagian saudara-saudari seibu (1/3) sebagaimana
pendapat Syafi’i dan Maliki.
4.Hak
kewarisan kakek
Dalam hukum
waris Islam terdapat pendapat yang bertentangan dalam hal kakek mewarisi
bersama-sama saudara sekandung/seayah. Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa
kakek menghijab semua saudara, sementara Maliki dan Syafi’I menyamakan posisi
kakek dengan saudara-saudara. Dalam UU No. 77/1943 pasal 6 berlaku bahwa bagian
kakek tidak akan mempengaruhi bagian saudari yang posisinya sebagai ahli waris
ashabul furudh. Tetapi apabila kakek bersama dengan saudara yang posisinya
sebagai ashabah, maka kakek dianggap sebagai saudara. Aturan ini merupakan
kombinasi antara pendapat Ali ra dan pendapat Syafi’I dan Maliki.
4. Ketentuan
tentang Raad (pengembalian sisa lebih)
Jika tidak ada
ahli waris ashabah, maka sisa harta beralih kepada suami/istri yang masih hidup
sebanding dengan pecahan saham mereka. Dengan demikian UU Mesir memungkinkan
janda/duda mengambil seluruh harta ketika pewaris tidak meninggalkan ahli waris
ashabah dan ahli waris nasab. Ketentuan ini bertentangan dengan pendapat Hanafi
yang yang tidak memberikan rad kepada janda/duda.
BAB III
PENUTUP
A. kesimpulan
Proses perumusan dan penataan kembali hukum keluarga di tunisia yang
disebut dengan nama Majjalah al Ahwal al Syakhsiyyah (Code
of Personal Status) 1956 yang berisikan 170 pasal. Tidak hanya sekedar upaya
membukukan fiqh mazhab Maliki, tetapi juga melakukan langkah-langkah yang
sangat progresif dalam upaya melakukan pembuatan Undang-Undang dan
pengaturannya dalam bidang hukum keluarga. Undang-undang ini mengalami beberapa
kali perubahan dan penambahan dengan ketentuan-ketentuan baru. Setelah
diamandemen tahun 1966 The Tunisian Code of Personal Status berisi 213 pasal
yang meliputi : perkawinan (pasal 10-28), perceraian (29-33), idda (34-36),
nafkah (37-53A), pemeliharaan anak (54-67), perwalian (68-76), anak terlantar
(77-80), orang hilang (81-84), kewarisan (85-152), cakap hukum (153-170),
wasiat (171-199), dan hibah (200-213).
Pembaharuan Hukum Keluarga Mesir
dilakukan tahap demi tahap menuju kesempurnaan hukum dengan mengadopsi Hukum
Islam yang bersumber dari pemikiran-pemikiran Fuqaha terutama dari Imam Mazdhab
Empat. Hal ini dipahami karena mayoritas penduduk adalah umat Islam yang sabar.
Sebagian besar bermazdhab Syafi’i.
Legalisasi poligami adalah salah satu bentuk bahwa Hukum Kelurga Mesir
bersumber dari Hukum Islam. Hak-hak perempuan lebih dilindungi melalui
peraturan-peraturan dalam hal perceraian dan poligami sehingga
sewenang-wenangan suami dapat dicegah sedini mungkin. Begitupun dengan
pembatasan usia perkawinan yang mendasarkan pada kedewasaan dan kematangan
pasangan.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum (Jakarta:
Prenada Mulia), cet. I, 2003.
John L Posite, Ensiklopedia Oxford Dunia Islam, terj.
(Bandung : Mizan), cet. I, 2001.
M Atho Muzdhar dan Khoiruddin Nasution (ed), Hukum
Keluarga di Dunia Islam Modern dalam Khaoeruddin Nasution
(Jakarta : Ciputat Press), cet I.
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara:
Studi terhadap
Perundang-undangan Perkawinana Muslim Kontemporer di
Indonesia dan Malaysia INIS, 2002.
UU
No. 25 tahun 1920 diamandemen dengan UU No. 25 tahun 1929 dan UU No. 100 tahun
1985, pasal 20.
UU
No. 25 tahun 1920 diamandemen dengan UU No. 25 tahun 1929 dan UU No. 100 tahun
1985. Personal law.
[1]Muhammad Tahir
Azhary, Negara Hukum (Jakarta: Prenada Mulia, 2003), cet. I,
hal 225.
[2] John L Posite, Ensiklopedia
Oxford Dunia Islam, terj. (Bandung : Mizan), cet. I, 2001, hal. 48.
[3]UU No. 25 tahun 1920 diamandemen
dengan UU No. 25 tahun 1929 dan UU No. 100 tahun 1985. Personal law, hal.
32.
[4] UU
No. 25 tahun 1920 diamandemen dengan UU No. 25 tahun 1929 dan UU No. 100 tahun
1985, pasal 20.