Advertisement
Jejak Pendidikan- Secara etimologi, hadhanah berasal dari akar bahasa Arab (حضَنَ- يحضنُ-حِضْنا) yang berarti mengasuh, merawat, memeluk. Selain kata dasar
tersebut, menurut Sayyid Sabiq, dasar dari kata hadhanah dapat disandarkan pada
kata al-Hidnan yang berarti lambung atau sesuatu yang terletak antara
ketiak dan pusar. Hadhana ath-Thaa’ir Baidhadhu, berarti seekor burung yang
menghimpit telurnya (mengerami) diantara kedua sayap dan badannya.
اَلْحَضَا نَةُ ھِىَ الْوَلاَ یَةُ عَلىَ نَفْسِ الطِفْل لِتَرْبِیَتِھِ وَتَدْبِیْر شُؤُوْنِھ
Artinya: Hadanah adalah asuhan terhadap seorang anak kecil untuk dididik dan diurus semua urusannya.[3]
Dalam istilah fiqih digunakan dua kata namun ditujukan untuk maksud yang
sama yaitu kaffalah atau hadanah. Yang dimaksud dengan kaffalah atau
hadanah dalam arti sederhana ialah “pengasuhan” dan “pemeliharaan”. Dalam arti lebih lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil
setelah terjadinya putus perkawinan. Hal ini dibicarakan dalam fikih karena
secara praktis antara suami dan istri telah terjadi perpisahan sedangkan
anak-anak memerlukan bantuan dari ayah dan/atau ibunya.[4]
baca juga: Dasar Hukum Hak Asuh Anak
Secara syariat,
mengasuh anak diartikan sebagai menjaga orang yang belum mampu mandiri mengurus
urusannya sendiri,mendidik dan menjaganya dari sesuatu yang merusak atau
membahayakannya. hadanah juga diartikan sebagai melakukan pemeliharaan anak-anak
yang masih kecil laki-laki ataupun perempuan yang sudah besar, tetapi belum
tamyiz, tanpa perintah dari padanya, menyediakan sasuatu yang menjadikan
kebaikannya, menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik
jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan
memikul tanggung jawabnya. Dari pengertian-pengertian hadanah tersebut diatas
dapat disimpulkan bahwa hadanah itu mencakup aspek-aspek:
b. Tercukupnya
kebutuhan
c. Usia
(yaitu bahwa hadanah itu diberikan kepada anak sampai usia tertentu).
Sehingga yang dimaksudkan dengan hadanah adalah
membekali anak secara material, spiritual, mental maupun fisik agar anak
dapat berdiri sendiri dalam menghadapi hidup masa kini dan kehidupan selanjutnya
saat dewasa. Dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak disebutkan pengertian pemeliharaan anak
(hadanah) secara definitif, melainkan hanya disebutkan tentang kewajiban orang tua untuk memelihara anaknya. Dalam konsep Islam tanggung
jawab ekonomi berada di pundak suami sebagai kepala rumah tangga, meskipun
dalam hal ini tidak menutup kemungkinan istri membantu suami dalam menanggung
kewajiban ekonomi tersebut. Karena itu yang
terpenting adalah adanya kerjasama dan tolong menolong antara suami istri dalam memelihara anak dan menghantarkannya
hingga anak tersebut dewasa.[8]
Dari berbagai definisi tersebut menurut
penulis, hadhanah adalah mendidik dan memelihara anak itu, mengurus
makanan, minuman, pakaian, kebersihan, pendidikan, kebutuhan materil ataupun
spiritual sampai mumayyiz (usia 12 tahun), sehingga anak tersebut
selamat, tetap dalam Islam, Iman, Ihsan, serta hidup dalam lingkungan keluarga
Islam yang ta’at kepada Agama. Dan anak tersebut mempunyai masa depan yang
cerah dan dalam hidupnyatidak selalu dibayang-bayang rasa trauma yang mendalam
yang diakibatkan oleh putusnya perkawinan ayah serta ibunya.
[1] Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang
Perkawinan,
(Jakarta:
Kencana, 2007),
h. 327.
[2] Sayyid Sabiq, Fiqih
Al-Sunnah III, terj. Nor Hasanuddin, (Jakarta: Pena
Pundi Aksara,
2006),
hlm. 288
[3] Muhammad Rawwas Qal’ahji, Ensiklopedi Fiqh Umar Bin
Khathab, Terj. M.Abdul Mujeb, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999),h.
103.
[4] Amir Syarifuddin, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 328
[5] Hamdani, Risalah
Nikah Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka Amani,1989), 260.
[6] Wahbah Zuhaili,
Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta:
Gema Insani, 2011),
h.295.
[7] T.M.Hasbi Ash
Shiddieqy, Hukum Antar Golongan Dalam Fiqih Islam, (Jakarta: Pustaka
Rizki Putra, 2001),
h. 111.
[8] Ahmad
Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: Raja Grafindo), h. 236.