BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATARBELAKANG
MASALAH
Terhentinya
ijtihad pada fase ini dikarenakan ulama berlebihan dan melampaui batas dalam
fanatik terhadap mazhab-mazhab salaf ini, mereke mendirikan benteng antara umat
dengan nash-nash Al-Qur’an dan sunnah, syariat itu menjadi tulisan-tulisan para
fuqaha dan pendapat-pendapatnya, serta kesungguhan umat pada waktu itu hanya
sampai pada memahai ucapan para imamnya atau menggali kaidah-kaidahnya. Hingga
ijtihadpun telah mereka lupakan hingga selesai dengan penutupan pintunya pada
awal abad keempat. Juga pemimpin tidak memberi kebebasab kepada para ulama
dalam berijtihad.
B.
RUMUSAN MASALAH
1) Bagaimanakah
perkembangan tasyrik pada periode abad 3 sampai dengan pertengahan abad ke 7?
2) Faktor
apa saja yang mempengaruhi perkembangan tasyrik?
3) Sebab-sebab apakah yang menyebabkan
kemunduran ijtihad?
4) Bagaimanakah usaha para ulama pada
periode ini?
C. MANFAAT PENULISAN
1) Menjelaskan perkembangan tasyrik
pada periode abad 3 sampai abad 7.
2) Menjelaskan factor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan tasyrik.
3) Menjelaskan sebab-sebab kemunduran
ijtihad.
4) Menjelaskan usaha para ulama pada
periode ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. KEADAAN
PERKEMBANGAN TASYRIK
Pada periode ini
wilayah kekuasaan islam telah terbagi-bagi dalam beberapa bagian yang setiap
bagian dipimpin oleh seorang Amir. Akibat pembagian ini, umat islam
tertimpa kelemahan dan kemorosotan dikarenakan negara-negara ini saling
berbantah-bantah, banyak terjadi fitnah, ujian berturut-turut, terputusnya
berbagai sarana transportasi, memutuskan hubungan, dan permusuhan sesame mulai
terjadi.[1]
Pemerintah
Abbasiyah memutuskan hubungan dengan Fatimiyah, pemerintahFatimiyah mengutus
para da’inya keberbagai negeri islam guna menyiarkan ajakannya, dan Bani
Abbasiyah mengadakan pertemuan-pertemuan guna menghinakan keturunan Fatimiyah
dan mereka juga mengadakan penyiaran melalui ceramah dan tulisan artikel yang
didalamnya terdapat para ulama dan orang-orang terhormat baik secara suka rela
maupun secara terpaksa.
Setelah Muhammad
Jarir Ath-Thabari wafat pada tahun 531 H tidak ada lagi orang yang menyatakan
dirinya sampai pada tingkat ijtihad yang dipilih oleh dirinya sendiri baik
dalam berfatwa maupun dalam mengistimbatkan sebuah hukum, mengambil
hukum-hukumnya dari Al-Qur’an dan sunnah tanpa terikat dengan pemikiran salah
seorang imam bahkan mengurangi hak dirinya, dan menganggap kemampuan dirinya
tidak kuat untuk menggali hukum melalui Al-Qur’an dan Sunnah serta mereka
bukanlah ahli untuk melihat pada keduanya dan mengistimbat pada keduanya,
sehingga diri mereka rela bertaklid dan bersandar pada mazhap Abu Hanifah,
Malik, Syafi’i, Ibnu Hanbal dan yang
lainnya mazhab yang tersebar pada waktu itu.
Pada periode
ini, orang cukup mempelajari kitab-kitab imam tertentu dan mempelajari
cara-cara melakukan istimbat hukum-hukum yang dibukukan tersebut. Apabila hal
itu telah selesai, maka jadilah ia seorang ulama ahli fikih, dan karangan yang
mereka tulis tidak lebih dara ringkasan para orang-orang sebelum mereka. Pada
masa ini pula diri seseorang tidak boleh mengeluarkan fatwa dalam sebuah
masalah yang hasilnya menyalahi apa yang telah di istimbatkan imamnya, mereka
terlalu berlebihan menganggap kehandalan para imam.
Dengan
berlebihan dan melampaui batas dalam fanatik terhadap mazhab-mazhab salaf ini,
mereke mendirikan benteng antara umat dengan nash-nash Al-Qur’an dan sunnah,
syariat itu menjadi tulisan-tulisan para fuqaha dan pendapat-pendapatnya, serta
kesungguhan umat pada waktu itu hanya sampai pada memahai ucapan para imamnya
atau menggali kaidah-kaidahnya. Hingga ijtihadpun telah mereka lupakan hingga
selesai dengan penutupan pintunya pada awal abad keempat.
B.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN
TASYRIK
faktor-faktor
atau keadaan yang menyebabkan kemunduran atau kelesuan pemikiran Islam di masa
itu adalah hal-hal sebagai berikut:
1) Kesatuan wilayah Islam yang luas
itu, telah retak dengan munculnya beberapa negara baru, baik di Eropa
(Spanyol), Afrika Utara, di Kawasan Timur Tengah dan Asia.
2) Ketidakstabilan politik yang
mempengaruh kegiatan pemikiran hukum. Artinya orang tidak bebas mengutarakan
pendapatnya.
3) Pecahnya kesatuan kenegaraan atau
pemerintahan itu menyebabkan merosotnya kewibawaan pengendalian perkembangan
hukum. Dan bersamaan dengan itu muncul pula orang-orang yang sebenarnya tidak
mempunyai kelayakan untuk berijtihad, namun mengeluarkan berbagai garis hukum
dalam bentuk fatwa yang membingungkan masyarakat.
4) Timbullah gejala kelesuan berpikir
di mana-mana karena kelesuan berpikir itu, para ahli tidak mampu lagi
menghadapi perkembangan keadaan dengan mempergunakan akal pikiran yang merdeka
dan bertanggung jawab
Periode
taqlid adalah periode dimana semangat ijtihad mutlak para ulama sudah pudar dan
berhenti. Semangat kembali kepada sumber-sumber pokok tasyri’, dalam rangka
menggali hukum-hukum dari teks al-Quran dan Sunnah dan semangat mengistimbatkan
hukum-hukum terhadap suatu masalah yang belum ada ketetapan hukumnya dari nash
dengan menggunakan dalil-dalil syara’, sudah pudar dan berhenti. Mereka hanya
mengikuti hukum-hukum yang telah dihasilkan oleh imam-imam mujtahid terdahulu.
Periode
taqlid ini mulai sekitar pertengahan abad IV H/X M. Pada masa ini pula terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi kebangkitan umat Islam dan menghalangi
aktivitas mereka dalam pembentukan hukum atau perundang-undangan hingga terjadinya
kemandekan. Semangat kebebasan dan kemerdekaan berpikir para ulama sudah mati.
Mereka tidak lagi menjadikan al-Quran dan Sunnah sebagai sumber utama, akan
tetapi justru mereka sudah merasa puas dengan berpegang kepada fiqh imam-imam
mujtahid terdahulu, yakni Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan
rekan-rekannya. Mereka mencurahkan segenap kemampuan mereka untuk memahami
kata-kata dan ungkapan-unkapan para imam mujtahid mereka. Dan mereka tidak
berusaha mencurahkan segenap kemampuannya untuk memahami nash-nash syariat dan
prinsip-prinsipnya yang umum.
C. SEBAB-SEBAB KEMUNDURAN
IJTIHAD
Ada
4 faktor penting yang menyebabkan terhentinya gerakan ijtihad dan suburnya
kebiasaan bertaqlid kepada para imam terdahulu, yaitu:[2]
a) Terpecah-pecahnya Daulah Islamiyah
ke dalam beberapa kerajaan yang antara satu dengan yang lainnya saling
bermusuhan, saling memfitnah, memasang berbagai perangkap, tipu daya dan
pemaksaan dalam rangka meraih kemenangan dan kekuasaan.
b) Pada pariode ketiga para imam
Mujtahid terpolarisasi dalam beberapa golongan. Masing-masing golongan
membentuk menjadi aliran hukum tersendiri dan mempunyai khittah tersendiri
pula. Misalnya ada kalanya dalam rangka membela dan memperkuat mazhabnya
masing-masing dengan cara mengemukakan argumentasi yang melegitimasi kebenaran
mazhabnya masing-masing mengedepankan kekeliruan mazhab lain yang dinilai
bertentangan dengan mazhabnya.
c) Umat Islam mengabaikan sistem
kekuasaan perundang-undangan, sementara di sisi lain mereka juga tidak mampu
merumuskan peraturan yang bisa menjamin agar seseorang tidak ikut berijtihad
kecuali yang memang ahli dibidangnya.
Para
ulama dilanda krisis moral yang menghambat mereka sehingga tidak bisa sampai
pada level orang-orang yang melakukan ijtihad. Di kalangan mereka terjadi saling
menghasut dan egois mementingkan diri sendiri.
D. USAHA PARA ULAMA PADA PERIODE INI
Meskipun
para ulama pada periode ini telah merintangi dirinya dalam menetapkannya agar
mengikuti imam tertentu dalam penerapan fatwanya, ternyata mereka juga memiliki
usaha-usaha yang agung yang dapat mengangkat keadaannya dan meninggikan
derajatnya, karena mereka tidak berhenti secara total dengan menghadapi batas
taklid secara murni tetapi mereka mengumpulkan atsar-atsar mentarjihkan
riwayat-riwayat, mengeluarkan ilat-ilat hukum.
Mereka
juga menyusun kitab-kitab untuk menyokong pedapat imam mereka seperti
Al-Mahalli, Baihaqi, Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Dengan hal itu, mereka telah
menghilangkan kesamaran dan ketersembunyian dan mereka mengeluarkan fatwa dalam
berbagai masalah yang tidak ada nas dari imamnya. [3]
Mereka
mengadakan tempat-tempat diskusi dan pertemuan-pertemuan perdebatan pada masa
itu, dimana setiap kelompok menguraikan kaidah-kaidah imamnya yang dijadikan
sandaran dalam istimbat dan hal yang diisyaratkan dalam pembahasan berbagai
hukum hingga sempurna dan kokoh. Misalnya mereka menjelaskan tentang
bahagian-bahagian mawaris yang dari 24 bahagian kemudian di aul menjadi 27
bagian.[4]
Serta mereka menjelaskan tentang (قرء) quru’.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada masa ini
ulama tidak berani ijtihad dengan sendiri bahkan apabila terdapat masalah baru,
mereka menemukan titik temu sebuah masalah dengan cara berijtihad secara
bersama. Dan pada masa ini pula para ulama hanya mempelajari ilmu dalam sebuah
mazhab secara mendetail saja. Apabila mereka sudah menguasainya maka ia sudah
dinamakan dengan ulama, padahal mereka juga memiliki kemampuan untuk
berijtihad.
Namun pada fase
ini ulama mulai memperjelaskan hukum-hukum yang di kalangan masyarakat masih
belum jelas dengan cara mencari akar sebuah masalah. Serta menghapus
hukum-hukum yang setelah mencari titik temunya ternyata hukum tersebut
melanggar dengan Al-Qur’an dan sunnah.
B.
SARAN
Dalam
menulis makalah ini pemakalah sangatlah dangkal pengetahuannya, apalagi masalah
terjadinya sebuah hukum fiqih merupakan hal yang paling penting yang harus
diketahui oleh seluruh manusia, dan selalu dilakukan oleh setiap manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad Ali As-sayis. Sejarah Fikih Islam. Jakarta: pustaka
Al-Kausar
Al-Funani, Zainuddin bin Abdul
Azizi Al-Malibari.1979. I’anatudhtalibin, jilid 3. Libanon: Bairud.
Muhammad Khudri. Tarikh
Tasyrik Islam. Bandung: Mizan.
Rusy, Ibnu. 1990. Bidayatu
Mujtahid Wanihayatul Muqtashid. Semaramg: Toha Putra.
[1] Muhammad Ali As-Sayis,
Sejarah Fikih Islam, (Pustaka Al-Kausar: Jakarta). Hal 163
[2] Muhammad Khudri, Tarikh
Tasyrik Islam,(mizan: Bandung). Hal 76
[3] Muhammad ali As-sayis…,
167
[4]Zainuddin Al-Malibari. I’anatudhthalibin.
Jilid III ( Bairut:Libanon)1979.