Advertisement
JEJAK PENDIDIKAN- NIKAH MELALUI TELEFON
Menentukan sah / tidaknya suatu nikah, tergantung pada dipenuhi atau tidaknya
rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya. Secara formal, nikah lewat telepon
dapat memenuhi rukun-rukunnya, yakni adanya calon suami dan istri, dua saksi,
wali pengantin putri, dan ijab qabul. Namun, jika dilihat dari segi
syarat-syarat dari tiap-tiap rukunnya, tampaknya ada kelemahan / kekurangan
untuk dipenuhi.
Misalnya, identitas calon suami istri perlu dicek ada
/ tidaknya hambatan untuk kawin (baik karena adanya larangan agama atau
peraturan perundang-undangan) atau ada tidaknya persetujuan dari kedua belah
pihak. Pengecekan masalah ini lewat telepon sebelum akad nikah adalah cukup
sukar. Demikian pula pengecekan tentang identitas wali yang tidak bisa hadir
tanpa taukil, kemudian ia melangsungkan ijab qabul langsung dengan telepon.
Juga para saksi yang sahnya mendengar pernyataan ijab qabul dari wali dan
pengantin putra lewat telepon dengan bantuan mikropon, tetapi mereka tidak bisa
melihat apa yang disaksikan juga kurang meyakinkan. Demikian pula ijab qabul
yang terjadi di tempat yang berbeda lokasinya, apalagi yang sangat berjauhan
seperti antara Jakarta dan Bloomington Amerika Serikat yang berbeda
waktunya sekitar 12 jam sebagaimana yang telah dilakukan oleh Prof. Dr
Baharuddin yang mengawinkan putrinya di Jakarta (dra. Nurdiani) dengan Drs.
Ario Sutarti yang sedang belajar di Universitas Indiana Amerika Serikat pada
hari sabtu tanggal 13 Mei 1989 pukul 10.00 WIB bertepatan hari jumat pukul
22.00 waktu Indiana Amerika Serikat.[1]
Nikah merupakan peristiwa yang sangat penting dalam
kehidupan manusia, dan itu bukanlah sembarangan akad, tetapi merupakan akad yang
mengandung sesuatu yang sakral dan syiar islam serta tanggung jawab yang berat
bagi suami istri, berikut beberapa pedoman tentang nikah melalui telepon:
1)
Nikah lewat
telepon mengandung risiko tinggi berupa kemungkinan adanya penyalahgunaan atau
penipuan (gharar/khida’), dan dapat pula menimbulkan keraguan
(confused atau syak), apakah telah dipenuhi atau tidak rukun-rukun dan
syarat-syarat nikahnya dengan baik. Dan yang demikian itu tidak sesuai dengan
hadist Nabi/kaidah fiqih
لا ضرر ولا
ضرارا
Tidak boleh membuat mudarat kepada diri sendiridan kepada orang lain.
Dan hadis Nabi
دعما يريبك
الا مالا يريبك
Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan engkau, (berpeganglah) dengan sesuatu yang tidak meragukan engkau.
درء المفاسد
مقدم على جلب المصالح
Menghindari mafsadah (resiko) harus didahulukan atas usaha menarik (mencari) maslahah
2)
Pendapat para imam
mujtahid
a)
Menurut imam
syafi’i cenderung memandang dalam arti fisik. Dengan demikian wali dan calon
mempelai haris ada dalam satu ruangan sehingga mereka dapat saling memandang.
Agar kedua belah pihak bisa saling mendengar dan memahami secara jelas ijab dan
qabul yang mereka ucapkan.[2]
b)
Imam Ahmad
menginterperensikan “satu majlis” dalam arti non fisik (tidak mesti dala satu
ruangan). Ijab dan qabul bisa di ucapkan dalam satu masa atau satu upacara dan
tidak diselingi oleh kegiatan lain.[3]
Solusinya bukan nikah jarak jauh,
melainkan adanya taukil atau perwakilan Karena secara umum, mewakilkan akad itu
dibolehkan karena hal ini dibutuhkan oleh umat manusia dalam hubungan
kemasyarakatan. Para Ahli Fiqh sependapat bahwa setiap akad yang boleh
dilakukan oleh orang yang bersangkutan berarti boleh juga diwakilkan kepada
orang lain.
Dahulu Nabi saw. Dapat menjadi atau
berperan sebagai wakil dalam akad perkawinan sebagian sahabatnya. Begitu juga
Umar bin Umayyah adh-Dhamri pernah bertindak sebagai wakil Rasulullah (dengan
Ummu Habibah), Dalam Hadits Rasul disebutkan yang artinya :
“Ummu Habibah adalah salah seorang yang
pernah ikut berhijrah ke habsyah, dikawinkan oleh Raja Najasyi dengan
Rasulullah, padahal pada waktu itu Ummu Habibab berada di negeri Raja Najasyi
itu.”(H.R. Abu Dawud).
Jadi, Seorang ayah kandung dari anak
gadis yang seharusnya menjadi wali dalam akad nikah dan mengucapkan ijab,
dibenarkan dan dibolehkan untuk menunjuk seseorang yang secara syarat memenuhi
syarat seorang wali. Dan penunjukan tersebut boleh dilakukan secara jarak jauh
melalui media komunikasi, baik lewat surat tertulis atau pembicaraan telepon
SLI, bahkan boleh lewat SMS, chatting, email, atau Video Conference
3.5 G. Cukup ditetapkan siapa yang akan menjadi wakil dari wali, yang
penting tinggalnya satu kota dengan calon suami. Lalu dilakukanlah akad nikah
secara langsung di satu majelis yang dihadiri oleh minimal 2 orang saksi laki-laki.
[1] http://www.operamail.com.
(tanggal akses 3 November 2012)
[2] M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta:
Siraja 2006), hal.307.
[3] Ibid..,