JEJAK PENDIDIKAN- THAHARAH
Arti Thaharah
http://fahrizal91.blogspot.co.id/ |
Allah swt berfirman:
$pkr'¯»t ãÏoO£ßJø9$# ÇÊÈ óOè% öÉRr'sù ÇËÈ y7/uur ÷Éi9s3sù ÇÌÈ y7t/$uÏOur öÎdgsÜsù ÇÍÈ
Artinya;
“Hai orang
yang berselimut. Bangunlah, kemudian berilah peringatan !, dan agungkanlah
Tuhanmu. Dan bersihkanlah pakaianmu“.(QS. Al-Muddatstsir : 1-4).
Dan pada surat Al-Baqarah ayat 222;
tRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]r& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙÅsyJø9$# ( wur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜt ( #sÎ*sù tbö£gsÜs? Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§qG9$# =Ïtäur úïÌÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ
Artinya:
“
“Mereka bertanya kepadamu tentang
haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri”.
B.
Macam-Macam Thaharah
1) Thaharah Hakiki
Thaharah secara hakiki maksudnya
adalah hal-hal yang terkait dengan kebersihan badan, pakain dan tempat shalat
dari najis. Boleh dikatakan bahwa thaharah secara hakiki adalah terbebasnya
seseorang dari najis.
Seorang yang shalat dengan memakai pakaian yang ada noda darah atau air kencing, tidak sah shalatnya. Karena dia tidak terbebas dari ketidaksucian secara hakiki. Thaharah secara hakiki bisa didapat dengan menghilangkan najis yang menempel, baik pada badan, pakaian atau tempat untuk melakukan ibadah ritual. Caranya bermacam-macam tergantung level kenajisannya. Bila najis itu ringan, cukup dengan memercikkan air saja, maka najis itu dianggap telah lenyap. Bila najis itu berat, harus dicuci dengan air 7 kali dan salah satunya dengan tanah. Bila najis itu pertengahan, disucikan dengan cara mencucinya dengan air biasa, hingga hilang warna najisnya. Dan juga hilang bau najisnya. Dan juga hilang rasa najisnya.[2]
Seorang yang shalat dengan memakai pakaian yang ada noda darah atau air kencing, tidak sah shalatnya. Karena dia tidak terbebas dari ketidaksucian secara hakiki. Thaharah secara hakiki bisa didapat dengan menghilangkan najis yang menempel, baik pada badan, pakaian atau tempat untuk melakukan ibadah ritual. Caranya bermacam-macam tergantung level kenajisannya. Bila najis itu ringan, cukup dengan memercikkan air saja, maka najis itu dianggap telah lenyap. Bila najis itu berat, harus dicuci dengan air 7 kali dan salah satunya dengan tanah. Bila najis itu pertengahan, disucikan dengan cara mencucinya dengan air biasa, hingga hilang warna najisnya. Dan juga hilang bau najisnya. Dan juga hilang rasa najisnya.[2]
2) Thaharah Hukmi
Sedangkan
thaharah secara hukmi maksudnya adalah sucinya kita dari hadats, baik hadats
kecil maupun hadats besar (kondisi janabah). Thaharah secara hukmi tidak terlihat kotornya secara pisik.
Bahkan boleh jadi secara pisik tidak ada kotoran pada diri kita. Namun tidak
adanya kotoran yang menempel pada diri kita, belum tentu dipandang bersih
secara hukum. Bersih secara hukum adalah kesucian secara ritual.
Seorang yang tertidur batal wudhu'-nya, boleh jadi secara pisik tidak ada kotoran yang menimpanya. Namun dia wajib berthaharah ulang dengan cara berwudhu' bila ingin melakukan ibadah ritual tertentu seperti shalat, thawaf dan lainnya.[3]
Seorang yang tertidur batal wudhu'-nya, boleh jadi secara pisik tidak ada kotoran yang menimpanya. Namun dia wajib berthaharah ulang dengan cara berwudhu' bila ingin melakukan ibadah ritual tertentu seperti shalat, thawaf dan lainnya.[3]
Demikian pula dengan orang yang
keluar mani. Meski dia telah mencuci maninya dengan bersih, lalu mengganti
bajunya dengan yang baru, dia tetap belum dikatakan suci dari hadats besar
hingga selesai dari mandi janabah.
Jadi secara thaharah secara hukmi adalah kesucian secara ritual, dimana secara pisik memang tidak ada kotoran yang menempel, namun seolah-olah dirinya tidak suci untuk melakukan ritual ibadah. Thaharah secara hukmi dilakukan dengan berwudhu' atau mandi janabah.
Jadi secara thaharah secara hukmi adalah kesucian secara ritual, dimana secara pisik memang tidak ada kotoran yang menempel, namun seolah-olah dirinya tidak suci untuk melakukan ritual ibadah. Thaharah secara hukmi dilakukan dengan berwudhu' atau mandi janabah.
C.
Tujuan dan fungsi
thaharah
1)
Tujuan Thaharah
Tujuan dari
thaharah bagi seluruh manusia adalah untuk mensucikan diri dengan cara
menghilangkan hadas besar dengan cara mandi atau tayammum. dan menghilangkan
hadas kecil dengan cara berwudh’ atau bisa juga dengan tayamum apabila di
tempat tersebut sangat sukar untuk mendapatkan air.
2)
Fungsi Thaharah
Thaharah juga
merupakan pangkal pokok ibadah yang menjadi penyongsong bagi manusia yang
menghubungkan diri dengan Allah, sebagaimana sabda Rasulullah yang bahwa:
لا ىقبل الله صلاة بغىر طهور (رواه مسلم)
Artinya:
“Allah tidak menerima shalat orang-orang yang tidak
bersuci” (H.R muslim)
Dari hadis diatas dapat kita pahami yang bahwa, Allah
mengnjurkan kepada kita semua melalui hadits Nabi untuk bersuci, dengan
demikian maka manusiapun akan mendapat keridhaan Allah dalam hidupnya.
D.
Pentingnya
Thaharah
1)
Islam Adalah Agama Kebersihan
Perhatian
Islam atas dua jenis kesucian itu -hakiki dan maknawi- merupakan bukti otentik
tentang konsistensi Islam atas kesucian dan kebersihan. Dan bahwa Islam adalah
peri hidup yang paling unggul dalam urusan keindahan dan kebersihan.[4]
2)
Islam Memperhatian Pencegahan Penyakit
Termasuk
juga bentuk perhatian serius atas masalah kesehatan baik yang bersifat umum
atau khusus. Serta pembentukan pisik dengan bentuk yang terbaik dan penampilan
yang terindah. Perhatian ini juga merupakan isyarat kepada masyarakat untuk
mencegah tersebarnya penyakit, kemalasan dan keengganan. Sebab wudhu' an mandi itu secara
pisik terbukti bisa menyegarkan tubuh, mengembalikan fitalitas dan membersihkan
diri dari segala macam kuman penyakit yang setiap sat bisa menyerang kondisi
tubuh. Secara ilmu kedokteran modern terbukti bahwa upaya yang paling efektif
untuk mencegah terjadinya wabah penyakit adalah dengan menjaga kebersihan. Dan
seperti yang sudah sering disebutkan bahwa mencegah itu jauh lebih baik dari
mengobati.
3)
Orang Yang Menjaga
Kebersihan Dipuji Allah
Sosok
pribadi muslim sejati adalah orang yang bisa menjadi teladan dan idola dalam
arti yang positif di tengah manusia dalam hal kesucian dan kebersihan. Baik
kesucian zahir maupun maupun batin. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW kepada
jamaah dari shahabatnya : “Kalian akan mendatangi saudaramu, maka perbaguslah
kedatanganmu dan perbaguslah penampilanmu. Sehingga sosokmu bisa seperti tahi
lalat di tengah manusia (menjadi pemanis). Sesungguhnya Allah tidak menyukai hal yang kotor dan
keji. (HR. Ahmad)”
4)
Kesucian Itu Sebagian Dari Iman
Rasulullah
SAW telah menyatakan bahwa urusan kesucian itu sangat terkait dengan nilai dan
derajat keimanan seseorang. Bila urusan kesucian ini bagus, maka imannya pun
bagus. Dan sebaliknya, bila masalah kesucian ini tidak diperhatikan,
الطهور شطر الإيمان
Artinya: Kesucian itu bagian dari Iman (HR.
Muslim)
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Air yang dapat dipakai bersuci ialah air yang bersih (suci
dan mensucikan) yaitu air yang turun dari langit atau keluar dari bumi yang
belum di pakai untuk bersuci.
Thaharah secara hakiki maksudnya
adalah hal-hal yang terkait dengan kebersihan badan, pakain dan tempat shalat
dari najis. thaharah secara hukmi maksudnya adalah sucinya kita dari
hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar (kondisi janabah).
Tujuan dari thaharah bagi seluruh
manusia adalah untuk mensucikan diri dengan cara menghilangkan hadas besar
dengan cara mandi atau tayammum. dan menghilangkan hadas kecil dengan cara
berwudh’ atau bisa juga dengan tayamum apabila di tempat tersebut sangat sukar
untuk mendapatkan air.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Funani, Zainuddin bin Abdul Azizi Al-Malibari.
I’anatudhtalibin, jilid 4. Libanon: Bairud.
Al-Bajuri, sheh,Ibrahim. al- Bajuri A’la Ibn Qasimilghazi, jilid 2. Libanon:
Bairud.
Rusy, Ibnu. 1990. Bidayatu Mujtahid Wanihayatul
Muqtashid. Semaramg: Toha Putra.
Al-Hafizh, Ibnu Hajar Al-Asqalani. Bulughul Marrami
Adillatul Ahkami. Semarang: Toha Putra.
Rifa’i, Muhammad. 1978. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semaramg: Toha
putra.
[1]Ibnu Rusy. Bidayatul
Mujtahid wa nihayatul muqtashid, (Jakarta: pustaka amani) 1989. Hlm. 4
[2] Ibid . hal 6
[3] Ibid. Hal 9.
[4] Moh rifai. Ilmu fiqh
islam lengkap. (semarang; toha putra)1978. Hlm 46.