Advertisement
JEJAK PENDIDIKAN- HADITS MAUDHU'
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dewasa ini banyak hukum baru bermunculan
ada yang boleh digunakan danadapula yang dilarang dalam Islam, serta untuk menentukannya para ulama
mencari Nash-nash yang mendukung tentang masalah tersebut. Mereka berpedoman
kepada Al-Qur’an dan hadis.
http://fahrizal91.blogspot.co.id/ |
Dengan demikian pemakalah akan
menjelaskan tentang ciri-ciri hadis palsu (maudhu’).
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa
Pengertian Hadis Maudhu ?
2. Apa
sebab yang melatarbelakangi munculnya Hadis maudhu’
3. Bagaimana
kaidah-kaidah untuk mengetahui hadis maudhu’ ?
4. Apa
Saja Upaya Ulama Dalam Menyelamatkan Hadis ?
C.
MANFAAT PENULISAN
1.
Menjelaskan pengertian Hadis Maudhu .
2.
Menjelaskan sebab yang melatarbelakangi
munculnya Hadis maudhu’.
3. Menjelaskan
kaidah-kaidah untuk mengetahui hadis maudhu’.
4. Menjelaskan upaya Ulama Dalam Menyelamatkan Hadis.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN HADIS MAUDHU’
kata
(الموضع) adalah isim maf’ul dari (وضع) yang mempunyai arti meletakkan atau menyimpan. Sedangkan
menurut istilah hadis maudhu’ adalah hadis yang disandarkan kepada Rasulullah
SAW secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, berbuat
ataupun menetapkannya.[1]
B.
LATARBELAKANG MUNCULNYA HADIS MAUDHU’
1. Pertentangan
Politik
Perpecahan umat islam yang
diakibatkan politik yang terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
besar sekali pengaruhnya terhadap perpecahan umau kedalam beberapa golongan dan
munculnya hadis palsu. Masing-masing golongan berusaha mengalahkan lawan dan
mempengaruhi orang-orang dengan membawa-bawa Al-Quran dan sunnah, demi
kepentingan suatu kelompok hadis-hadis palsupun dibuat-buat. Seperti golongan
Muawiyah yang membuat hadis palsu:
الأمناء
ثلاثة انا وجبريل ومعاوية انت مني يامعاوية وانامنك
“Tiga golongan yang dapat dipercaya, yaitu saya(rasul), Jibril, dan Mu’awiyah. Kamu termasuk golonganku dan Aku bagian dari kamu”.[2]
2. Usaha
Kaum Zindik
Kaum Zindik termasuk kaum yang
golongan yang membenci islam, baik islam sebagai Agama atau sebagai dasar
pemerintahan. Contih hadis palsu yang dibuat oleh kaum Zindik adalah:
النظر الي الوجه الجميل صدقة
“ Melihat wajah yang cantik termasuk ibadah”.[3]
C.
KAIDAH-KAIDAH UNTUK MENGETAHUI HADIS
MAUDHU’
Ada
beberapa patokan yang bisa dijadikan alat untuk mengidentifikasi bahwa hadis
itu palsu atau sahih, diantaranya adalah:
1.
Dilihat
Melalui Sanad
a) Pengakuan
dari yang membuat hadis itu sendiri, seperti Abu Ishman bin Abi Maryam ia
mengaku telah memalsukaan beberapa hadis yang berkaitan dengan Al-Quran, juga
Abdul Karim Al-Aula salah seorang tokoh kaum Zindik yang telah menyebarkan
4.000 hadis palsu tentang masalah ibadah seperti:
النظر الي الوجه الجميل صدقة
“ Melihat wajah yang cantik termasuk ibadah”.
b) Keadaan
(qarinah) pada perawi. Hadis dapat diketahui kepalsuannya dengan melihat
keadaan seorang yang meriwayatkannya, seperti yang terlihat pada diri Sa’d bin
Dharif ketika suatu hari anaknya pulang dari sekolah dalam keadaan menangis.
Sa’d menanyakan mengapa dia menangis, anaknya menjawah bahwa ia dipukul oleh
gurunya. Mendengar jawaban anaknya Sa’d berkata:
حدثنا
عكرمة عن عباس عن النبي ص. م . قال معلموا صبيانكم اقلهم
رحمة لليتيم واغلطهم على المساكين
“ telah menceritakan kepada kami Ikrimah dari ‘Abbas dari Nabi SAW beliau bersabda para pengajar anak-anak kamu adalah orang-orang yang jahat diantara kamu, mereka kurang kasih sayang kepada anak yatim dan berlaku kasar terhadap orang-orang miskin”.[4]
Ibnu Ma’in mengatakan bahwa Sa’d
Ibnu Dahrif adalah orang yang tidak boleh diterima riwayatnya bahkan Ibnu
Hibban mengatakan Sa’d Bin Dahrif adalah seorang pemalsu hadis.
c) Seorang
perawi dikenal memang pendusta, juga hadis yang diriwayatkannya pitak pernah
diriwayatkan oleh para perawi yang lain pada umumnya.
2.
Dilihat Melalui Sanad
a) Adanya
kerancuan pada lafaz hadis yang diriwayatka, apabila dibaca oleh seorang ahli
bahasa maka ia asan segera mengetahui bahwa hadis tersebut palsu dan bukan
berasal dari nabi SAW.
الباذنجان شفاء من كل داء
“terong adalah obat untuk segala penyakit”.[5]
b) Maknanya
rusak dan tidak dapat diterima akal sehat bahwa hadis tersebut berasal dari
Nabi SAW seperti:
من اتجذ ديكا ابيض لم يقربه شيطان ولاسحر
“siapa yang mengambil ayam jantan putih, dia tidak akan didekati oleh setan dan sihir”.[6]
c) Bertentangan
dengan nash Al-Quran, hadis Mutawatir atau ijma’ seperti:
ولدالزنا لايدجل الجنة الى سبعة اثناء
“Anak zina tidak akan masuk surga hingga tujuh keturunan”
d) Hadis
yang menerangkan pahala yang sangat besar terhadap perbuatan kecil dan
sederhana, atau sebaliknya siksaan yang sangat hebat terhadap tindakan salah
yang sangat kecil. Seperti hadis berikut ini:
من
قال لااله الاالله خلق الله طاإرا له سبعن الفد لسان سبعون الف لغة يستغفرون له
“Siapa yang membaca “laihaha illallah” Allah menciptakan seekor burung yang mempunyai tujuh puluh ribu lidah dan masing-masing lidah menguasai tujuh puluh bahasa yang memohonkan ampunan baginya”.
D.
UPAYA PENYELAMATAN HADIS
Untuk
menyelamatkan Hadits Nabi SAW ditengah-tengah gencarnya pembuatan Hadits palsu,
ulama menyusun berbagai kaidah penelitian Hadits serta merumuskan
langkah-langkah yang dapat mengantisipasi problem hadis maudhu’, diantaranya
adalah:
1.
Memelihara Sanad Hadis
Ketelitian
dan sikap ketat terhadap sanad Hadis telah dilakukan oleh umat Islam sejak masa
para sahabat dan Tabi’in. Sikap teliti dan hati-hati tersebut semakin meningkat
terutama setelah kejadian perpecahan dikalangan umat Islam dan munculnya
tindakan pemalsuan Hadis. Diwaktu itu apabila mereka menerima hadis selalu
menanyakan sanad suatu dari orang yang merawikannya dan sebaliknya mereka juga
akan menerangkan sanad dari Hadis yang mereka sampaikan. Abdullah Bin Mubarak
mengatakan:
الأسناد من الدين ولولإسناد لقال من شاء
ماشاء
“Sanad itu bahagian dari Agama, sekiranya tidak ada sanad niscaya akan berkatalah semua orang tentang apa yang mereka sukai tentang agama”.
Sikap
ketat dan kritis terhadap sanad hadis akhirnya menjadi sikap umum dikalangan
para ulama Hadis[7].
2.
Meningkatkan Kesungguhan Dalam Meneliti
Hadis
Aktifitas
dalam meneliti serta mencari kebenaran suatu hadis juga telah dimulai sejak
zaman para sahabat dan tabi’in pada masa itu telah timbul usaha perlawatan dari
suatu daerah ke daerah lain yang kadang-kadang hanya untuk kepentingan meneliti
kebenaran sebuah hadis dari seorang perawinya. Seorang tabiin tatkala mendengan
atau menerima sebuah hadis, maka ia akan pergi mengunjungi para sahabat yang
masih hidup ketika itu dalam rangka mencari kebenaran hadis tersebut
3. Menyelidiki
dan Membasmi Kebohongan yang Dilakukan Terhadap Hadis
Disamping
sikap hati-hati dalam menerima dan meriwayatkan suatu hadis, para ulama juga
melakukan penyelidikan terhadap pelaku kebohongan dan pemalsuan Hadits
sekaligus menutup serta membasmi ruang gerak mereka dalam memalsukan hadis.
Para guru berusaha menerangkan kepada murid-murid mereka tentang hadis palsu
serta melarang mereka menerima hadis para pembohong dan pemalsu hadis yang
telah diketahui.
4.
Menerangka Kepada Perawi
Kewajiban
bagi pera Ulama Hadis untuk mengenali para perawi hadis, sehingga mereka dapat
menetapkan dan membedakan perawi yang benar dan dapat dipercaya riwayatnya dari
perawi yang bohong. Dengan demikian dapat dibedakan mana hadis tang sahih dan
yang palsu.[8]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Hadis
maudhu’ adalah hadis yang disandarkan kepada rasulullah pada dasarnya nabi
tidak mengatakan atau melakukan atau menyampaikannya.
Ada
enpat hal yang harud diketahui agar terhindar dari hadis palsu yaitu:
1. Menerangka
Kepada Perawi
2. Menyelidiki
dan Membasmi Kebohongan yang Dilakukan Terhadap Hadis
3. Meningkatkan
Kesungguhan Dalam Meneliti Hadis
4. Memelihara
Sanad Hadis
B.
SARAN
http://fahrizal91.blogspot.co.id/ |
DAFTAR
PUSTAKA
Suhudi Ismail, kaidah-kaidah
kesahihan hadis, 1988, Bulan Bintang, Jakarta
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis ,
2010, Mutiara Sumber Widya, Jakarta:
Muddasir, Ilmu Hadis , 1999,
Pustaka Setia, Bandung. cet 1.
Badri Yatim, Ulumul Hadis, 2005,
Pustaka Setia, Bandung.
[1]
Suhudi Ismail, kaidah-kaidah
kesahihan hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hal. 92.
[2]
Ibid, hal 94.
[3] Ibid, hal 97.
[4] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (jakarta:
Mutiara Sumber Widya, 2010), Hal 310.
[5] Ibid. Hal 312
[6] Ibid. Hal 313
[7]
Muddasir, Ilmu Hadis,
cet 1, (Bandung: Pustaka Setia 1999), Hal 178.
[8] Ibid., hal 324